Ulama Besar Kerajaan Aceh Darussalam
Data Aceh. Sejak dahulu negri Aceh sudah
dikenal sebagai negeri islam yang banyak terdapat para wali Allah dan ulamanya.
oleh sebab itu wajarlah jika Rasulullah pernah menyebut nama Aceh sebagai
negeri para ulama, hingga hari ini yang kita kenal sebagai negeri Serambi
Mekkah. Ada banyak ulama masyhur di Aceh namun disini hanya disebutkan 4 ulama
besar saja, karena dari 4 ulama ini para ulama-ulama lain berasal dari mereka.
Lalu siapakah ulama tersebut ? berikut penjelasannyanya :
Syeikh Hamzah Fanzuri
Riwayat hidupnya tidak banyak
diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa kesultanan Aceh
Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan Sultan Alaiddin selaku sultan
yang ke-4 dengan sayyid mukammil sebagai gelarnya. Hal keadaan ini sebagai
isyarat yang terlihat dalam syairnya yang berbunyi sebagai berikut:
Hamba mengikat syair ini
Di bawah hadhrat Raja yang wali
Syah Alam raja yang adil, raja kutub sempurna kamilWali Allah sempurna wasil, Raja arif lagi mukammil
Tentang dirinya beliau bersyair:
Hamzah ni asalnya fansuri
Mendapat wujud di tanah syahr nawi
Beroleh khilafat ilmu yang aliDari pada Abdul Qadir Sayyid Jailani
Syahr Nawi mengisyaratkan beliau
lahir di tanah Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni
ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.
Ketika pengembaraannya selesai dari
Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk
mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan
ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia
mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil dan di Oboh itulah
(ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau di makamkan di
sebuah kuburan di desa ini dan dipandang oleh masyarakat banyak sebagai kuburan
Hamzah Fansuri.
Bersama-sama dengan Syeikh
Syamsuddin Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh aliran wujudiyah (seorang
alim yang telah sampai kepada makrifat wahdatul wujud). Ia dianggap sebagai
guru Syamsuddin Sumatrani, dimana ia kerapkali mengutip ungkapan-ungkapan Hamzah
Fansuri. Bersama dengan muridnya ini Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran
sesat oleh Nuruddin Ar-Raniry pada ketika Nuruddin Ar-Raniry menjadi mufti
kerajaan yang berpengaruh di istana Sultan Iskandar Tsani, pada hal karya
Hamzah Fansuri musnah dibakar pada zaman Sultanah Safiatuddin. Kebanyakan dari
karangan beliau menulis tentang ilmu tauhid, ilmu suluk, ilmu thariqat, ilmu
tasawuf dan ilmu syara’. Beliau adalah anak dari seorang ulama besar terkemuka
di Barus, dan Fansuri di negeri Barus terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan
yang letaknya di selatan Aceh.
Hal keadaan di atas telah
diungkapkan oleh Prof. DR. Syekh Muhammad Naquib Al-Attas, dalam bukunya The
Mysticism of Hamzah Fansuri.
Syamsuddin as-Sumatrani
Beliau adalah tokoh ulama besar dan
pengarang di Aceh. Nama lengkapnya ialah Syekh Syamsuddin bin Abdillah as
Sumatrani; sering juga disebut Syamsuddin Pasee. Dia adalah ulama besar yang
hidup di Aceh pada beberapa dasa warsa (sepuluh tahun) terakhir abad ke-16 dan
tiga dasa warsa pertama abad ke-17.
Gurunya yang utama ialah Hamzah
Fansuri dan pernah belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di Jawa. Beliau
menguasai bahasa Melayu-Jawa, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang
dikuasainya ialah ilmu tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda,
beliau memegang jabatan yang tinggi dalam Kerajaan Kesultanan Aceh. Beliau
dilantik sebagai penasehat kepada kedua sultan tersebut. Beliau juga pernah
diangkat menjadi qadi malikul adil yaitu satu jabatan yang terdiri dalam
Kerajaan Aceh (orang yang kedua penting dalam kerajaan). Beliau mengetuai
Balai Gading (balai khusus yang di anggotai oleh tujuh orang ulama dan delapan
orang ulee balang), di samping menjadi Syekh pusat pengajaran Baiturrahman.
Sekalipun mengikut faham aliran
tasawuf wahdatul wujud, namun beliau berlaku adil dalam menjalankan hukum-hukum
yang difatwakannya. Keahliannya diakui oleh semua pihak termasuk musuhnya Syekh
Nuruddin. Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M pada zaman Sultan Iskandar
Muda. Banyak karangan-karangan beliau dan fatwa-fatwa beliau diantaranya Syarah
Ruba’i Fansuri (uraian terhadap puisi Hamzah Fansuri), dan lain-lain.
Wal hasil beliau adalah seorang
ulama besar fiqh dan tasawuf. Dalam hal ini seorang pelaut Belanda bernama
Frederick de Houtman (1599M/1008H) yang ditawan di Banda Aceh, dia menyebutkan
dalam bukunya tentang Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syekh, penasehat
agung raja.
Demikian juga Duta Kerajaan Inggris
Sir James Lancaster yang datang ke istana Sultan Aceh (1602 M/1011 H)
menyebutkan bahwa Syamsuddin Sumatrani adalah chiefe bishope (imam kepala) yang
dihormati raja dan rakyatnya, bijaksana dan berwibawa dan ikut dalam
perundingan antara perutusan Inggris dan pihak Aceh. Para peneliti cenderung
pada kesimpulan bahwa Syekh yang menjadi penasehat agung raja itu dan imam
kepala tersebut tidak lain dari pada Syekh Syamsuddin Sumatrani. Bahkan ada
sarjana yang menetapkan bahwa Syekh ini baik pada masa Sultan Alaiddin
Riayatsyah IV (1589 – 1604 M/997 – 1011 H) maupun pada masa Sultan Iskandar
Muda (1607 – 1636 M/1016 – 1045 H) diangkat menjadi Qadi Al Malikul Adil, orang
kedua dalam barisan ulama besar Aceh pada zaman dahulu.
Syekh Nuruddin ar-Raniry
Syekh Nuruddin ar-Raniry |
Kemudian ia melanjutkan pendidikan
ke Tarim Arab Selatan. Kota ini adalah pusat studi ilmu agama pada masa itu.
Setelah menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada 1621 M (1030
H), ia kembali ke India. Setelah kembali ke India dan mengajar di samping
sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah ia merantau ke nusantara dan memilih Aceh
sebagai tempat menetap. Ia datang ke Aceh karena itu telah Aceh berkembang
menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam
di kawasan Asia Tenggara menggantikan Melaka yang telah jatuh kepada penguasaan
portugis. Mungkin juga ia mau mengikuti jejak pamannya, Syekh Muhammad Jailani
bin Muhammad Hamid Ar-Raniry yang telah tiba di Aceh pada 1588 M berkat
kesungguhannya ia berhasil menjadi ulama besar yang berpengatahuan luas dan
tercatat sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah dan bermazhab syafi’ie dalam
lapangan fiqh.
Pada tahun 1621 atau 1030 H ia
berada di Makkah dan Madinah dalam rangka menunaikan ibadah haji dan setelah
kembali ke India. Setelah itu untuk kali yang kedua ia kembali ke Aceh. Pada
tahun 1620-an (1030-an H) dan menelaah faham wujudiyah yang sedang berkembang
di kalangan murid-murid Syekh Syamsuddin Sumatrani. Hubungan baik Ar-Raniry
dengan Sultan Iskandar Tsani di Aceh memberi peluang kepadanya untuk
mengembangkan ajaran dan faham mistik yang dibawanya. Peluang itu lebih
berkembang lagi terutama setelah ia diangkat sebagai mufti kerajaan Aceh. Ia
menentang faham wujudiyah yang sesat yang berkembang di Aceh pada waktu itu.
Jadi untuk menyanggah pendapat dan faham wujudiyah yang sesat itu ia sengaja
menulis beberapa kitab di samping juga ia menyanggah ajaran wujudiyah yang
sesat yang tidak sejalan dengan ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumatrani.
Al Quraisyi pada laqab namanya
menunjukkan ia dari kabilah yang besar dan terhormat yaitu Quraisy. Asy
Syafi’ie mengungkapkan bahwa ia bermazhab Syafi’ie yang tidak perlu diragukan
oleh rakyat Aceh. Ia berthariqat dengan thariqat Rifa’iyyah menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan
Abdurrauf al Fansuri karena sama-sama penganut thariqat suffiyah dan bermazhab
Imam Syafi’ie r.a.
Namun yang sangat ditentangkan
olehnya adalah para pengikut wujudiyah yang sesat. Dengan demikian maka tidak
ada perbedaan antara dia dengan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Mungkin sejarawan yang lain seperti menulis ada pertentangan menurut saya
antara ulama-ulama besar itu tidak ada sesat menyesatkan antara mereka dan
terjadi perbedaan politik oleh karena ada kaitan dengan kerajaan itu
sah-sah saja. Kalaupun ada pertentangan ada pertentangan antara keduanya
bukanlah perbedaan dalam masalah syariat, thariqat dan hakikat, akan tetapi tidak
lebih untuk kepentingan rakyat dan kerajaan semata karena masa senantiasa
berubah. Dan setelah meninggal Sultan Iskandar Tsani maka kedudukannya selaku
qadi malikul adil dilanjutkan pada Sultanah Ratu Saifatuddin (1641 – 1675 M) di
samping beliau menjadi guru besar ilmu-ilmu pengetahuan Islam di mesjid Raya
Baiturrahman.
Syekh Abdurrauf As Singkily
Beliau adalah salah satu dari empat
ulama terkemuka yang pernah muncul di Aceh pada abad ke-17. Sedang yang tiga
lagi adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Nuruddin Ar-Raniry. Para
ahli sejarah memperkirakan bahwa ia lahir sekitar 1615 M (1035 H) di Singkil
yang terletak di ujung paling selatan pantai barat Aceh, sekampung dengan Syekh
Hamzah Fansuri dan juga putra dari saudara Syekh Hamzah Fansuri sendiri. Ia
tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama di Aceh pada masa negeri itu sedang
berada dalam puncak kejayaan di bawah pimpinan sultannya yang terbesar, Sultan
Iskandar Muda.
Demi untuk lebih memperdalam atau
memperluas pengetahuan agamanya, ia berangkat ke negeri Arab sekitar tahun 1643
M (1064 H) pada saat negeri Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin yang berada
kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.
Abdurrauf tidak segera langsung
menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak tempat yang menjadi
pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah beliau
sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Qur’an,
tafsir, hadits, fiqh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu,
yakni tasawuf dan thariqat. Setelah belajar di Madinah pada Syekh Thariqat
Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/ 1082 H) dan kemudian pada
khalifah atau penggantinya IbrahimAlqur’ani, beliau memperoleh ijazah dari
pimpinan thariqat tersebut. Ini berarti ia telah beroleh pengakuan dan hak
untuk mengajarkan Thariqat Syatthariyah itu pada orang lain atau untuk
mendirikan cabang baru pada tempat lain. Banyak guru-guru besar yang ia
mendapatkan ijazah ilmu pengetahuan dari padanya selama 19 tahun ia menuntut
ilmu pengetahuan itu. Ia pulang ke Aceh sebagai seorang ulama yang luas dalam
ilmunya. Menurut perkiraan para ahli sekitar tahun 1662 M (1083 H), boleh jadi
peranannya sebagai pengajar thariqat Syatthariah telah dimulainya di Madinah,
menjelang pulang ke Aceh, seperti yang disimpulkan oleh Snouck Houghranje dari
penelitiannya atas silsilah-silsilah thariqat, yang tidak hanya tersebar di
Sumatra tetapi juga di Jawa, yang sudah pasti beliau sesudah berada di Aceh,
aktif mengajar dan tercatat sebagai ulama Indonesia yang menjadi mata rantai
pertama dalam silsilah thariqat Syatthariah yang mengajar di Sumatra, Jawa atau
tempat-tempat lain di Indonesia. Ia mengajar di Kuala atau muara krueng Aceh
sampai wafat di sana pada tahun 1693 M (1105 H). Karena mengajar dan berkubur
di kuala Aceh ia kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Syiah
Kuala. Selain mengajar ia juga menjalankan tugasnya sebagai mufti kerajaan Aceh
Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641 - 1675 M). Banyak
karangan beliau baik dalam ilmu tafsir dan kitab tafsir pertama yang dihasilkan
di Indonesia dan ilmu-ilmu lain.
Seperti halnya Syamsuddin Sumatrani
dan Nuruddin Ar-Raniry, Abdurrauf As Singkili, beliau juga menganut faham
wahdatul wujud yang benar, yakni bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah,
sedangkan alam adalah ciptaannya bukanlah wujud hakiki, tetapi wujud bayangan
yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan demikian bahwa tuhan lain dari alam
atau alam lain dari tuhan. Kendati begitu antara bayangan alam dengan yang
memancarkan bayangan (Tuhan) itu terdapat keserupaan pada alam yang tampak ini.
Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli) secara tidak langsung. Pada manusia
khususnya sifat-sifat tuhan secara tidak langsung menampakkan diri dengan sempurna
dan relatif sempurna pada insan kamil (manusia sempurna). Tujuan thariqat yang
diajarkannya tidak lain dari memfanakan (menyinarkan) apa saja selain Allah
dari kesadaran batin manusia melalui pengamalan beberapa macam zikir.