Wisata Religi Mesjid Tua Indrapuri
Data Aceh. Masjid Indrapuri berlokasi di Desa Indrapuri Pasar, Kecamatan Indrapuri,
Kabupaten Aceh Besar. Dari Banda Aceh, berada sekitar 20 KM arah
Medan, di tepi sungai Kreung Aceh yang bermuara di Selat Malaka. Konon
masjid ini dibangun diatas pondasi yang diduga merupakan bekas candi
Hindu /Budha peninggalan Kerajaan Lamuri/Lambri yang sudah ada sejak
abad ke-10 M. Meskipun bentuk candinya sudah tidak terlihat, masih ada
sisa-sisa tembok tebal yang sebagian telah terkelupas.Tembok inilah
yang menjadi pegangan para ahli sejarah untuk berasumsi bahwa bangunan
ini dahulu adalah sebuah candi.
Bangunan Masjid Indrapuri dulunya merupakan sebuah bangunan pura yang didirikan oleh Kerajaan Lamuri yang merupakan Kerajaan Hindu pertama di Aceh. Pura tersebut didirikan pada sekitar abad ke 12 Masehi dan digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Setelah Kerajaan Lamuri tak lagi berkuasa, bangunan pura ini kemudian hancur yang hanya tersisa reruntuhan pondasi saja.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di atas reruntuhan pondasi tersebut dibangunalah sebuah masjid pada sekitar tahun 1607 Masehi hingga 1636 Masehi. Arsitektur dari masjid tersebut juga masih terpengaruh oleh gaya arsitektur Hindu yang bisa dilihat dari tembok masjid serta pondasi masjid yang berbentuk punden berundak. Tak hanya itu, atap masjid yang bertingkat tingkat juga menjadi tanda bahwa arsitektur masjid ini masih menganut gaya arsitektur Hindu.
Selain memiliki arsitektur yang unik, Masjid Indrapuri juga menjadi saksi akan perjalanan sejarah Indonesia yang terjadi di Aceh. Ketika masa penjajahan Belanda, Belanda berhasil merebut istana pada tahun 1874 yang memaksa pemerintahan dipindahkan sementara di Indrapuri. Pada masa itu, selain digunakan sebagai tempat ibadah masjid ini juga digunakan sebagai pusat pemerintahan serta basis pertahanan sementara.
Masjid Indrapuri juga menjadi saksi sejarah ketika dilakukan penobatan Sultan Muhammad Daudsyah yang dilakukan didalam masjid ini. Penobatan tersebut dilakukan pada tahun 1878 Masehi yang juga menjadikan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh terakhir. Selain itu, masjid ini juga menjadi pusat berkembangnya ajaran Islam pada masa penjajahan Belanda di Aceh.
Konstruksi Masjid Tua Indrapuri hingga kini masih belum banyak berubah. Kayu tua masih mendominasi masjid ini. Bentuk atap masjid ini berbeda dengan bentuk atap kebanyakan masjid di Aceh. Masjid ini justru mirip dengan masjid tua di Jawa yang mengambil bentuk arsitektur candi. Atapnya berbentuk segi empat yang tersusun tiga. Bangunan yang berukuran 18.8 x 18.8 meter ini dibangun dengan 36 tiang yang berdiri di atas umpak ( landasan ) dari batu kali. Pintu masuk ditempatkan di sisi timur, tegak lurus dengan mihrab, sedangkan di halaman depan terdapat bak penampungan air hujan untuk berwuduk.
Di masa kesultanan, selain sebagai tempat ibadah, Masjid Indrapuri berfungsi juga sebagai dayah/pesantren).Namun belum diperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang mendirikan dan mengembangkan dayah di sini.Hanya diketahui bahwa motivasi menghidupkan dayah Indra Puri setelah perang kolonial, termotivasi oleh keberadaan dayah di masjid ini dalam masa kesultanan.Dalam masa perang kolonial Belanda di Aceh, Masjid Indrapuri menjadi saksi bisu tentang peristiwa penting bagi sejarah.Salah satunya adalah penggunaanya sebagai markas besar mujahid Aceh saat pusat pemerintahan sementara berada di Indrapuri.
Selain bekas candi, wilayah ini pernah menjadi pusat Kesultanan Aceh Darussalam beberapa bulan, akibat menghindari agresi Belanda. Akibat tekanan Belanda, pusat kerajaan kembali dipindahkan ke Keumala yang saat ini berada di Kabupaten Pidie.
Karena menempati bekas candi, areal Masjid Tua Indrapuri sangat luas yakni 33.878 meter persegi. Untuk mencapai masjid ini cukup mudah, tidak jauh dari poros jalan Banda Aceh-Medan.
Bangunan Masjid Indrapuri dulunya merupakan sebuah bangunan pura yang didirikan oleh Kerajaan Lamuri yang merupakan Kerajaan Hindu pertama di Aceh. Pura tersebut didirikan pada sekitar abad ke 12 Masehi dan digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu. Setelah Kerajaan Lamuri tak lagi berkuasa, bangunan pura ini kemudian hancur yang hanya tersisa reruntuhan pondasi saja.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, di atas reruntuhan pondasi tersebut dibangunalah sebuah masjid pada sekitar tahun 1607 Masehi hingga 1636 Masehi. Arsitektur dari masjid tersebut juga masih terpengaruh oleh gaya arsitektur Hindu yang bisa dilihat dari tembok masjid serta pondasi masjid yang berbentuk punden berundak. Tak hanya itu, atap masjid yang bertingkat tingkat juga menjadi tanda bahwa arsitektur masjid ini masih menganut gaya arsitektur Hindu.
Selain memiliki arsitektur yang unik, Masjid Indrapuri juga menjadi saksi akan perjalanan sejarah Indonesia yang terjadi di Aceh. Ketika masa penjajahan Belanda, Belanda berhasil merebut istana pada tahun 1874 yang memaksa pemerintahan dipindahkan sementara di Indrapuri. Pada masa itu, selain digunakan sebagai tempat ibadah masjid ini juga digunakan sebagai pusat pemerintahan serta basis pertahanan sementara.
Masjid Indrapuri juga menjadi saksi sejarah ketika dilakukan penobatan Sultan Muhammad Daudsyah yang dilakukan didalam masjid ini. Penobatan tersebut dilakukan pada tahun 1878 Masehi yang juga menjadikan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh terakhir. Selain itu, masjid ini juga menjadi pusat berkembangnya ajaran Islam pada masa penjajahan Belanda di Aceh.
Konstruksi Masjid Tua Indrapuri hingga kini masih belum banyak berubah. Kayu tua masih mendominasi masjid ini. Bentuk atap masjid ini berbeda dengan bentuk atap kebanyakan masjid di Aceh. Masjid ini justru mirip dengan masjid tua di Jawa yang mengambil bentuk arsitektur candi. Atapnya berbentuk segi empat yang tersusun tiga. Bangunan yang berukuran 18.8 x 18.8 meter ini dibangun dengan 36 tiang yang berdiri di atas umpak ( landasan ) dari batu kali. Pintu masuk ditempatkan di sisi timur, tegak lurus dengan mihrab, sedangkan di halaman depan terdapat bak penampungan air hujan untuk berwuduk.
Di masa kesultanan, selain sebagai tempat ibadah, Masjid Indrapuri berfungsi juga sebagai dayah/pesantren).Namun belum diperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang mendirikan dan mengembangkan dayah di sini.Hanya diketahui bahwa motivasi menghidupkan dayah Indra Puri setelah perang kolonial, termotivasi oleh keberadaan dayah di masjid ini dalam masa kesultanan.Dalam masa perang kolonial Belanda di Aceh, Masjid Indrapuri menjadi saksi bisu tentang peristiwa penting bagi sejarah.Salah satunya adalah penggunaanya sebagai markas besar mujahid Aceh saat pusat pemerintahan sementara berada di Indrapuri.
Selain bekas candi, wilayah ini pernah menjadi pusat Kesultanan Aceh Darussalam beberapa bulan, akibat menghindari agresi Belanda. Akibat tekanan Belanda, pusat kerajaan kembali dipindahkan ke Keumala yang saat ini berada di Kabupaten Pidie.
Karena menempati bekas candi, areal Masjid Tua Indrapuri sangat luas yakni 33.878 meter persegi. Untuk mencapai masjid ini cukup mudah, tidak jauh dari poros jalan Banda Aceh-Medan.
Category: Aceh Besar, pariwisata, Sejarah