Siapa yang patut bertanggungjawab terhadap perubahan di MOU ke UUPA

data | 5:05 AM | 0 komentar



DATA ACEH - Siapa yang seharusnya "bertanggungjawab" terhadap implementasi MOU Helsinky yang berbeda dan kehilangan "Roh" terhadap substansi utama dari isi MOU dalam UUPA (Undang-undang Pemerintah Aceh) No.11 Tahun 2016.


Perubahan ataupun perbedaan tersebut berdasarkan Laporan Akhir CMI sepatutnya  terus direvisi dan diperbaiki dengan Qanun /UUPA baru yang tetap sesuai isi MOU untuk menjamin Perdamaian Aceh terus berjalan dengan semestinya.


Beberapa hal yang menjadi Catatan Crisis Management Initiative pada Laporan Akhirnya diantaranya:

Prinsip-Prinsip Dasar

Kepada enam sektor publik, yang diberikan MoU kepada pemerintah pusat secara eksplisit, UUPA menambahkan urusan pemerintahan “yang bersifat nasional” (UUPA Pasal 7 ayat 2). Pihak Penandatangan Kedua prihatin bahwa ini akan membuka peluang bagi pemerintah pusat untuk mengambil kewenangan yang sangat luas yang akan membatasi kewenangan Aceh secara berlebihan sehingga tidak seperti yang dimaksudkan oleh MoU, dan karena hal ini meminta agar ketentuan UUPA mengenai hal tersebut direvisi. 

UUPA Pasal 8 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) menggunakan istilah “…dengan konsultasi dan pertimbangan …” sebagai pengganti “… pertimbangan dan persetujuan …” seperti yang tertulis dalam MoU. Pihak Penandatangan Kedua prihatin bahwa perbedaan dengan prinsip MoU ini dapat mengarah pada pengambilan keputusan sepihak oleh DPR-RI atau Pemerintah Pusat, dan berpendapat bahwa peraturan pelaksanaan terkait (Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2008) tidak menyediakan mekanisme mencari kesepahaman bersama yang memadai. Olehr karena itu, Pihak Penandatangan Kedua MoU meminta agar ketentuan UUPA mengenai hal ini perlu disesuaikan

Ekonomi
UUPA (Pasal 186 ayat1) mensyaratkan persetujuan Menteri Keuangan dan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pinjaman dari Pemerintah yang dananya bersumber dari luar negeri. Pihak Penandatangan Kedua prihatin bahwa hak-hak Aceh dalam mendapatkan pinjaman luar negri akan menjadi sangat dibatasi oleh isi ketentuan UUPA

Pihak Penandatangan Kedua prihatin bahwa Aceh tidak memiliki kebebasan dalam penetapan dan pemungutan pajak, tetapi harus mengikuti peraturan perundang-undangan nasional yang ada (UUPA Pasal 180 ayat 2). Demikian pula halnya, kebebasan Aceh dalam menarik investasi langsung dari luar negri dibatasi oleh ketentuan UUPA yang mensyaratkan bahwa Aceh harus mengikuti norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional (UUPA Pasal 165 ayat 2).

Aturan UUPA mengenai kewenangan Aceh atas sumber daya alam yang hidup di wilayah lautnya dianggap bersifat terlalu membatasi kewenangan Aceh, dengan mensyaratkan Aceh untuk mengikuti norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional, khususnya dalam hal pemberian izin terkait (UUPA Pasal 165 ayat 3).

Dalam kenyataan, Aceh tidak menahan 70% dari bagi hasilnya, tetapi semua pendapatan ditransfer kepada pemerintah pusat, yang kemudian mengalokasikan kembali dana tersebut. Pihak
Penandatangan Kedua prihatin mengenai kemungkinan kurangnya transparansi dan meminta agar dilakukan perubahan terhadap UUPA Pasal 181 ayat 2 yang mengamanatkan bahwa pembagian Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional yang ada.

Aturan Hukum
Menurut UUPA Pasal 203, tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI di Aceh diadili sesuai dengan peraturan perundangundangan, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Keprihatinan Pihak Penantangan Kedua adalah bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan yang cukup mengenai “tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI”. Masih memungkinkan bahwa kejahatan sipil akan diadili di pengadilan militer. Oleh karena itu, diminta agar dilakukan perubahan ketentuan UUPA yang terkait. (Sebagai alternatif, ketentuan yang lebih jelas mengenai kejahatan sipil yang diadili pada pengadilan sipil dapat diakomodasi dalam Undang-Undang tentang TNI dan tentang Peradilan Militer jika ada rencana untuk merevisi kedua undang-undang ini.)

Pengaturan Keamanan
Dalam menentukan tanggungjawab dan tugas TNI di Aceh, UUPA dalam Pasal 202 mengacu pada peraturan perundangundangan, dalam hal ini Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang juga mencakup masalah keamanan internal. Pihak Penandatangan Kedua MoU prihatin bahwa secara tersirat ketentuan UUPA tersebut dapat memperbesar tugas-tugas TNI di Aceh melampaui ketentuan yang terdapat dalam MoU. Oleh karena itu, Pihak Penandatangan Kedua memandang UUPA perlu disesuaikan agar mandat TNI di Aceh sebagaimana yang disyaratkan oleh MoU, atau mengakomodir situasi khusus Aceh kedalam revisi Undang-Undang tentang TNI.




Mohon Koreksi dan Sarannya bila ada Informasi/Data yang salah!

Laporan Akhir CMI Proses Da... by BDS-P Data Aceh

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Category: , , , ,

0 komentar

Harga Emas Terkini