Jeungki Alat Tradisional Aceh Untuk Menumbuk
Data Aceh. Jingki atau ada yang menyebutnya dengan jeungki adalah sebuat alat tradisional yang terbuat dari kayu pilihan yang terdapat di hutan Aceh yang digunakan untuk menumbuk padi, beras, sagu dan lain-lain.
Dulunya, jingki hampir ada di setiap rumah orang Aceh dan pada bulan ramadhan jingki akan ramai digunakan untuk mengolah tepung untuk bahan kue pada waktu hari raya nantinya. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman jingki sudah sangat sering tidak digunakan lagi. Hanya orang-orang Aceh yang diperkampungan mungkin masih menggunakan Jingki. Sedangkan kalau di kota hanya terpajang di museum saja.
Cara kerja jingki adalah digerakkan dengan kaki pada titik tumpang yang lebih keujung sehingga akan mengangkat ujungnya yang satu lagi dan memberikan pukulan yang kuat. Pada ujung pengungkit dipasang suatu kerangka terdiri atas 2(dua) bagian tegak lurus yang di hubungkan oleh kayu as (penggerak) harizontal yang membuat jeungki akan naik turun. Sedangkan di titik ujung yang untuk menumbuk lesung digunakan Alu (Alee dalam bahasa Aceh).
Masyarakat Aceh membuat Jeungki dari pohon kayu mene yang dibuat dengan bagus dan penuh dengan seni. Panjang Jeungki 2,5 meter dengan di ujungnya dibuat alu, biasanya untuk alu kayu yang lebih lunak diujungnya dibuat lesung juga dari pohon kayu mane atau kayu lainnya. Dulunya, tiap rumah memiliki Jeungki, karena dengan Jeungki proses penumbukan gabah (padi) lebih murni. Lebih-lebih kalau mendekati hari lebaran, banyak ibu rumah tangga di daerah pedesaan, mulai melakukan kegiatan menumbuk tepung (top teupong) sebagai bahan baku berbagai jenis kue persiapan dalam menyambut tamu lebaran yang datang ke rumahnya.
Selain dijadikan sebagai alat penumbuk gabah kering giling dan teupung, Jeungki bagi masyarakat Aceh terutama bagi ibu rumah tangga dan dara gampong, dapat juga dijadikan sebagai sarana olah raga, sebab dengan adanya sitem penumbukan padi dalam bahasa Aceh disebut (Rhak Jeungki) dapat menguatkan otot-otot dan gerakan anggota tubuh bagi wanita gampong secara rutin, juga menjadi sebuah penghematan ekonomi dalam rumah tangga.
Kebiasaan wanita desa ramai-ramai melakukan top teupong sebagai menu kue persiapan menyambut hari lebaran, dalam sebuah jeungki ada empat-sampai lima wanita bekerja secara saling membantu. Bagi para gadis berdiri menginjak di ujung jeungki, sementara ibu rumah tangga duduk di pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaliskan (hayak). Dengan adanya Jeungki juga menjadi budaya saling membantu atau bekerjasama ibu rumah tangga dalam segala hal. Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai renggang pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.
Dulunya, jingki hampir ada di setiap rumah orang Aceh dan pada bulan ramadhan jingki akan ramai digunakan untuk mengolah tepung untuk bahan kue pada waktu hari raya nantinya. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman jingki sudah sangat sering tidak digunakan lagi. Hanya orang-orang Aceh yang diperkampungan mungkin masih menggunakan Jingki. Sedangkan kalau di kota hanya terpajang di museum saja.
Cara kerja jingki adalah digerakkan dengan kaki pada titik tumpang yang lebih keujung sehingga akan mengangkat ujungnya yang satu lagi dan memberikan pukulan yang kuat. Pada ujung pengungkit dipasang suatu kerangka terdiri atas 2(dua) bagian tegak lurus yang di hubungkan oleh kayu as (penggerak) harizontal yang membuat jeungki akan naik turun. Sedangkan di titik ujung yang untuk menumbuk lesung digunakan Alu (Alee dalam bahasa Aceh).
Masyarakat Aceh membuat Jeungki dari pohon kayu mene yang dibuat dengan bagus dan penuh dengan seni. Panjang Jeungki 2,5 meter dengan di ujungnya dibuat alu, biasanya untuk alu kayu yang lebih lunak diujungnya dibuat lesung juga dari pohon kayu mane atau kayu lainnya. Dulunya, tiap rumah memiliki Jeungki, karena dengan Jeungki proses penumbukan gabah (padi) lebih murni. Lebih-lebih kalau mendekati hari lebaran, banyak ibu rumah tangga di daerah pedesaan, mulai melakukan kegiatan menumbuk tepung (top teupong) sebagai bahan baku berbagai jenis kue persiapan dalam menyambut tamu lebaran yang datang ke rumahnya.
Selain dijadikan sebagai alat penumbuk gabah kering giling dan teupung, Jeungki bagi masyarakat Aceh terutama bagi ibu rumah tangga dan dara gampong, dapat juga dijadikan sebagai sarana olah raga, sebab dengan adanya sitem penumbukan padi dalam bahasa Aceh disebut (Rhak Jeungki) dapat menguatkan otot-otot dan gerakan anggota tubuh bagi wanita gampong secara rutin, juga menjadi sebuah penghematan ekonomi dalam rumah tangga.
Kebiasaan wanita desa ramai-ramai melakukan top teupong sebagai menu kue persiapan menyambut hari lebaran, dalam sebuah jeungki ada empat-sampai lima wanita bekerja secara saling membantu. Bagi para gadis berdiri menginjak di ujung jeungki, sementara ibu rumah tangga duduk di pinggir lesung menjaga tepung sambil menghaliskan (hayak). Dengan adanya Jeungki juga menjadi budaya saling membantu atau bekerjasama ibu rumah tangga dalam segala hal. Namun, selama langkanya Jeungki bagi wanita desa mulai renggang pula keakraban dan kebersamaan di dalam gampong.
Category: Seni Budaya