Meunasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam Tradisional Aceh

Unknown | 1:32 AM |


Data Aceh. Asal-usul meunasah diketahui setelah terbentuknya masyarakat gampông Islam. Beriringan dengan lahirnya masyarakat gampông Islam itu didirikan pula lembaga gampông yang dikenal dengan nama meunasah (berasal dari bahasa Arab, madrasah). Namun lembaga serupa meunasah sudah dikenal jauh sebelumnya, walaupun namanya tidak diketahui. Perkembangan meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional Aceh baru diketahui sejak munculnya sistem pemerintahan pada masa Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636).

Lembaga ini terdapat di setiap gampông (desa) dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Lembaga meunasah merupakan program pendidikan Islam yang ditransfer dari sistem dan organisasi madrasah Nizamiyah. Hal itu karena sebelum Iskandar Muda hanya ditemukan lembaga pendidikan tradisional yang disebut dayah yang berasal dari z>awiyah, bahkan sudah ada pada masa Kerajaan Peureulak dan Samudera-Pasai. Meunasah sebagai lembaga pendidikan dasar (tingkat rendah) benar-benar eksis dan fenomenal menjadi milik masyarakat Aceh sejak masa kejayaan Islam atau masa Sultan Iskandar Muda.

Perkembangan tersebut sekaligus berhubungan dengan proses islamisasi lembaga pendidikan dan terpadunya dengan sistem pemerintahan dari; Gampông (Desa) terdapat meunasah sehingga terdapat integrasi adat-agama, antara Keuchik dengan Teungku Meunasah, di mukim ada integrasi antara Imuem Mukim dan Q>ad}i Mukim dan terdapat rangkang dan dayah. Sementara di Nanggroe dan Ibukota Kerajaan juga terdapat kesinambungan antara Ulêê Balang dengan Teungku dan Qadhi.

Berikut Beberapa Fungsi Meunasah :

Pertama, meunasah sebagai lembaga musyawarah rakyat, artinya desa (gampông) dalam struktur masyarakat di Aceh sebagai kedudukan terbawah dan para penghuni gampông pada saat pemerintahan Aceh Darussalam masih jaya dapat memanfaatkan meunasah sebagai lembaga musyawarah, baik dalam forum pengangkatan Keuchik dan jabatan lain maupun musyawarah lainnya, sehingga masyarakat Aceh menempatkan meunasah sebagai badan sentral pengendalian pemerintah gampông.

Kedua, meunasah sebagai lembaga pendidikan (pengajian) atau madrasah berarti fungsi meunasah yang diampu oleh Teungku Meunasah adalah menyelenggarakan pengajaran (pengajian) pada generasi muda dan generasi dini (anak usia 6-8 tahun) masyarakat gampông (desa) yang berupa membaca dan menulis huruf Arab, membaca al-Qur'an, cara beribadat, rukun Islam, rukun Iman, dan diajarkan pula Kitab Perukunan, Risalah Masailal Muhtadin.

Ketiga, meunasah sebagai lembaga peribadatan, memiliki fungsi sebagaimana tempat ibadah berarti menempatkan meunasah sebagai fungsi mushalla, rumah ibadah, tempat untuk mengabdi pada Allah, atau tempat untuk bersujud, pada realitas lapangan bergantung pada Teungku Meunasah sebagai Imam Meunasah. Biasanya masyarakat gampông dapat maksimal memanfaatkan meunasah untuk tempat ibadah (seumayang) saat matahari terbenam (maghrib) setelah pembantu teungku memukul tambô (bedug) kemudian masyarakat berbondong-bondong menuju meunasah. Juga pada bulan puasa, shalat dilakukan secara teratur, tepat pada waktunya di waktu malam menjelang tarawih. Namun Snouck menambahkan bahwa shalat Jum’at tidak pernah dilaksanakan di meunasah sebagaimana juga di Jawa tidak dilakukan di langgar.

Keempat, meunasah sebagai lembaga kesenian Islam dan hiburan. Beberapa fenomena yang nampak di masyarakat Aceh, terdapat kebiasaan menyanyikan ratéb saman, menurut Snouck (ratib samman sesuai dengan nama wali (aulia) yang hidup beberapa abad lalu di Madinah), juga pemukulan tambô secara ritmis dan berirama, yang lain juga ada pulet, rebana atau rapa’i yang pada umumnya dimainkan malam Jum’at setelah acara inti ibadah. Jumpa dijumpai kesenian seperti dalail khairat, meusifeut, ratéb duek dan sebagainya.

Kelima, menurut Snouck, meunasah juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan aqad nikah (perkawinan). Mendukung pendapat tersebut menurut Abd. Rahman Gani, meunasah juga berfungsi sebagaimana Kantor Urusan Agama, yaitu berfungsi sebagai lembaga nikah dan ruju’, hal itu dimungkinkan karena persoalan kesediaan Teungku Meunasah dan persetujuan Keuchik tentang perlunya kelembagaan nikah/ruju’/fasakh di gampông, agar tidak perlu lagi ke KUA yang tempatnya lebih jauh, maka dapat memanfaatkan meunasah sebagai sekaligus fungsi lembaga KUA.

Masih banyak fungsi meunasah yang secara historis dapat digunakan multi fungsi yang mencakup semua aspek kehidupan antara lain; 1) tempat menginap musafir; 2) tempat transaksi jual beli; 3) tempat mahkamah damai atau mendamaikan jika ada warga masyarakat gampông yang bertikai; 4) tempat berzikir, berdo’a, tempat praktek tarekat (suluk) dan sebagainya.


Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Category: ,

Harga Emas Terkini