Peninggalan Sejarah Lonceng Cakra Donya
Data Aceh. Lonceng Cakra Donya yang saat ini tersimpan baik di Museum Aceh, menjadi ingatan bahwa Aceh sebagai sebuah bangsa yang berperadaban dan telah menjalin persahabatan dengan Tiongkok sejak abad ke-15 silam.
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi.
Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakradonya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Cina kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda.
Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakradonya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau icon khusus Kota Aceh.
Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan Cina 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Cakra berarti poros kereta, lambang-lambang Wishnu, cakrawala atau matahari. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol-simbol berbentuk aksara Cina dan Arab. Aksara Cina bertuliskan Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo (Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5). Sedangkan aksara Arab tidak dapat dibaca lagi.
Lonceng ini sangat terkenal di daerah Aceh. Sejarah mencatat bahwa lonceng cakradonya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho, seorang pemimpin armada laut Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Cina kepada Kesultanan Samudera Pasai pada tahun 1405. Pemberian lonceng ini dalam rangka mengikat hubungan persahabatan dan kerjasama antara dua kerajaan di negara yang berbeda.
Pada sekitar tahun 1524 M Kesultanan Pasai ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan lonceng tersebut akhirnya diangkut ke Banda Aceh. Nama Cakradonya adalah nama armada perang Sultan Iskandar Muda, yang mana cakra berarti kabar sedangkan donya artinya dunia. Lonceng cakradonya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan kabar kepada dunia, termasuk isyarat perang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada bagian atas lonceng ini terdapat tulisan aksara Tionghoa dan Arab. Aksara Tionghoa yang tertulis adalah "Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Yat Tjo", namun tulisan aksara tersebut sudah tidak terbaca lagi karena sudah dimakan usia. Mulanya Lonceng raksasa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakkan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi di kompleks Istana Sultan. Namun kini Lonceng Cakradonya telah dipindahkan ke Museum Aceh dan ditempatkan dalam sebuah kubah di halaman museum tersebut sejak tahun 1915. Hingga kini Lonceng raksasa ini menjadi simbol atau icon khusus Kota Aceh.
Ibu Kota Provinsi Aceh, Banda Aceh, salah satu tempat yang memiliki kisah masa silam Aceh yang gemilang adalah Museum Negeri Aceh, terletak di Jalan Alauddin Mahmud Syah, museum ini menyimpan berbagai peninggalan sejarah Aceh yang telah berabad-abad lamanya. Salah satunya adalah lonceng Cakra Donya.
Di halaman yang tidak jauh dari Museum yang diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915 itu, lonceng yang memiliki ketinggian mencapai 1,25 meter, dan diameter 1 meter itu terlihat masih kokoh. Pada bagian luarnya, terukir hiasan dan tulisan Arab serta Tiongkok.
Dalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota-kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri).
Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Kerajaan Samudra Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16.
Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungkan Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah. Para pedagang dari pelbagai negara transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India.
Sejarah mencatat, hubungan baik dua kerajaan Islam, antara Aceh dan China. Lonceng tersebut sebagai buktinya. Laksamana Cheng Ho yang kala itu mengunjungi Nusantara selama tujuh kali.
Pada kesempatan keempatnya, tahun 1414 M memberi sebuah lonceng raksasa kepada Sultan di kerajaan Samudra Pasai (wilayah Aceh Utara saat ini -Red) sebagai hadiah dari Kaisar penguasa Tiongkok. Lonceng berbentuk stupa ini, dibuat pada 1409 M.
Pada masa Kesultanan Aceh, di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), lonceng tersebut kerap digunakan dalam Kapal Perang Kesultanan Aceh. Kapal itu bernama Cakra Donya dan mampu menampung sekira 800 prajurit.
Category: Sejarah