Sejarah Masuknya Mata Uang Ke Kerajaan Aceh
Data Aceh. Di bagian utara Pulau Sumatra, jauh sebelum terbentuk-nya Kesultanan Aceh, Kerajaan Pasai sudah tumbuh menjadi sebuah kerajaan terpenting di antara kerajaan yang ada pada masa itu. Kerajaan Pasai ini terbentang mulai dari ujung Tamiang di bagian timur hingga ke Kuala Ulim di bagian barat. Ibukota kerajaannnya bernama Samudra, Samadra atau disebut juga Syamtalera.
Menurut catatan sejarah, sejak abad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara Negeri Cina di timur dan India (Cambay) di barat dengan Kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu jong yang berniaga pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah Kerajaan Pasai waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat. Uang ketun ini bentuknya panjang, lebar, dan beratnya hampir sama dengan ringgit Spanyol yang kemudian diedarkan oleh orang-orang Portugis di beberapa kerajaan di Aceh. Mata uang ketun ini beredar dan berlaku hingga masa datangnya orang-orang Portugis yang pada tahun 1521 berhasil menduduki Kerajaan Pasai.
Orang-orang Portugis ini selanjutnya juga mengedarkan mata uang ringgit yang bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgiet Spanyol (ringgit Spanyol), namun orang-orang Aceh menamakan mata uang ini dengan nama ringgiet meriam (ringgit meriam). Dinamakan demikian karena pada mata uang ini terdapat dua buah pilar (tiang) yang menyerupai meriam. Mata uang ringgit meriam ini dikenal secara luas di Aceh dan dinamakam juga reyal yang dalam istilah disebut rieyeu. Pada masa Kerajaan Aceh riyal ini cukup populer sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada. Sebagaimana disebutkan dalam karya Pieter van Dam bahwa alat pembayaran dalam pembelian lada di Aceh digunakan uang reyal. Jika sebelumnya datang orang-orang Belanda dan Inggris ke Aceh harga lada sekitar 8 riyal per bahar (1 bahar ± 375 lbs. Inggris), maka setelah datang pedagang-pedagang tersebut naik menjadi 20 riyal per bahar, dan ketika datang pedagang-pedagang Perancis naik lagi hingga menjadi 48 reyal per bahar.
Selain reyal atau ringgit meriam ini orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu:
1. Mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit).
2. Mata uang tembaga yang agak lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang ini tidak mempunyai nama dalam istilah Aceh.
3. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng.
Mata uang-mata uang tersebut di atas, kemudian hilang dari peredaran bersamaan dengan diusirnya orang-orang Portugis dari kerajaan-kerajaan di Aceh (Pasai dan Pedir).
Selain jenis mata uang tersebut di atas menurut Tome Pires di kerajaan-kerajaan pada bagian timur Sumatra di pusat-pusat kerajaan telah digunakan jenis-jenis mata uang tertentu sebagai alat tukar dalam perdagangan. Di Kerajaan Pedir terdapat mata uang dari timah yang bentuknya kecil yang disebut keuh (istilah Aceh) dan mata uang dari emas yang disebut drama serta mata uang yang dibuat dari perak yang disebut tanga yaitu sejenis mata uang yang menyerupai uang Siam. Selain di Pedir, di Kerajaan Pasai juga terdapat mata uang emas yang menurut Tome Pires juga disebut drama. Mungkin apa yang disebut Tome Pires dengan drama yaitu yang populer disebut masyarakat setempat deureuham. Istilah ini berasal dari kata Arab, namun jenis mata uang ini dibuat dari perak.
T. Ibrahim Alfian yang merupakan satu-satunya sarjana Indonesia di luar penulis-penulis Belanda yang membahas tentang mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh mengatakan bahwa mata uang emas yang pernah diketemukan di bekas Kerajaan Pasai adalah mata uang emas pertama dan dianggap sebagai deureuham tertua. Mata uang emas ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikal-Zahir (1297-1326). Selain itu, T. Ibrahim Alfian juga menyebutkan bahwa mata uang emas ini ditiru oleh Kerajaan Aceh, setelah kerajaan itu menaklukkan Pasai pada tahun 1624. Pedangang-pedangang Pasai yang pergi ke Malaka memperkenalkan pula sistem penempaan mata uang emas ini kepada penduduk Malaka.
Menurut catatan sejarah, sejak abad XII dan abad XIII sudah berlangsung hubungan perdagangan antara Negeri Cina di timur dan India (Cambay) di barat dengan Kerajaan Pasai. Pedagang-pedagang Cina yang menggunakan perahu-perahu jong yang berniaga pada kota-kota pelabuhan dalam wilayah Kerajaan Pasai waktu itu telah mempergunakan mata uang perak yang bernama ketun sebagai alat tukar dalam mendapatkan barang-barang dari penduduk setempat. Uang ketun ini bentuknya panjang, lebar, dan beratnya hampir sama dengan ringgit Spanyol yang kemudian diedarkan oleh orang-orang Portugis di beberapa kerajaan di Aceh. Mata uang ketun ini beredar dan berlaku hingga masa datangnya orang-orang Portugis yang pada tahun 1521 berhasil menduduki Kerajaan Pasai.
Orang-orang Portugis ini selanjutnya juga mengedarkan mata uang ringgit yang bergambar tiang yang populer dengan sebutan ringgiet Spanyol (ringgit Spanyol), namun orang-orang Aceh menamakan mata uang ini dengan nama ringgiet meriam (ringgit meriam). Dinamakan demikian karena pada mata uang ini terdapat dua buah pilar (tiang) yang menyerupai meriam. Mata uang ringgit meriam ini dikenal secara luas di Aceh dan dinamakam juga reyal yang dalam istilah disebut rieyeu. Pada masa Kerajaan Aceh riyal ini cukup populer sebagai alat tukar khususnya dalam transaksi lada. Sebagaimana disebutkan dalam karya Pieter van Dam bahwa alat pembayaran dalam pembelian lada di Aceh digunakan uang reyal. Jika sebelumnya datang orang-orang Belanda dan Inggris ke Aceh harga lada sekitar 8 riyal per bahar (1 bahar ± 375 lbs. Inggris), maka setelah datang pedagang-pedagang tersebut naik menjadi 20 riyal per bahar, dan ketika datang pedagang-pedagang Perancis naik lagi hingga menjadi 48 reyal per bahar.
Selain reyal atau ringgit meriam ini orang-orang Portugis mengedarkan pula tiga jenis mata uang tembaga, yaitu:
1. Mata uang tembaga yang ukurannya sebesar ringgit meriam, dengan tulisan Arab di salah satu sisinya yang berbunyi empat kepeng, disebut dengan nama duet (duit).
2. Mata uang tembaga yang agak lebih kecil dengan tulisan Arab yang berbunyi dua kepeng. Mata uang ini tidak mempunyai nama dalam istilah Aceh.
3. Mata uang tembaga berbentuk kecil dengan tulisan Arab berbunyi satu kepeng.
Mata uang-mata uang tersebut di atas, kemudian hilang dari peredaran bersamaan dengan diusirnya orang-orang Portugis dari kerajaan-kerajaan di Aceh (Pasai dan Pedir).
Selain jenis mata uang tersebut di atas menurut Tome Pires di kerajaan-kerajaan pada bagian timur Sumatra di pusat-pusat kerajaan telah digunakan jenis-jenis mata uang tertentu sebagai alat tukar dalam perdagangan. Di Kerajaan Pedir terdapat mata uang dari timah yang bentuknya kecil yang disebut keuh (istilah Aceh) dan mata uang dari emas yang disebut drama serta mata uang yang dibuat dari perak yang disebut tanga yaitu sejenis mata uang yang menyerupai uang Siam. Selain di Pedir, di Kerajaan Pasai juga terdapat mata uang emas yang menurut Tome Pires juga disebut drama. Mungkin apa yang disebut Tome Pires dengan drama yaitu yang populer disebut masyarakat setempat deureuham. Istilah ini berasal dari kata Arab, namun jenis mata uang ini dibuat dari perak.
T. Ibrahim Alfian yang merupakan satu-satunya sarjana Indonesia di luar penulis-penulis Belanda yang membahas tentang mata uang emas kerajaan-kerajaan di Aceh mengatakan bahwa mata uang emas yang pernah diketemukan di bekas Kerajaan Pasai adalah mata uang emas pertama dan dianggap sebagai deureuham tertua. Mata uang emas ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikal-Zahir (1297-1326). Selain itu, T. Ibrahim Alfian juga menyebutkan bahwa mata uang emas ini ditiru oleh Kerajaan Aceh, setelah kerajaan itu menaklukkan Pasai pada tahun 1624. Pedangang-pedangang Pasai yang pergi ke Malaka memperkenalkan pula sistem penempaan mata uang emas ini kepada penduduk Malaka.
Category: Internasional, Perdagangan, Sejarah