Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, Sultanah Pertama kerajaan Islam Aceh Darusalam
Taman Ratu Safiatuddin |
Data Aceh. Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Anak tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada tahun 1612 dengan nama Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-’Alam memiliki arti “kemurnian iman, mahkota dunia.” Ia memerintah antara tahun 1641-1675. Diceritakan bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan di negerinya. Safiatuddin meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.
Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat merupakan putri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari permaisuri pertamanya, Putri Sani Ratna Sendi Istana. Sri Ratu memerintah Kerajaan Aceh setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani pada 1050 Hijriyah atau 1641 Masehi.
Selama masa pemerintahannya mulai 1050 Hijriyah hingga 1086 Hijriyah atau 1641 Masehi hingga 1675 Masehi, Kerajaan Aceh mencapai kemajuan yang cukup baik, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sebelum berstatus sebagai sultanah, Safiatuddin Syah merupakan istri dari Sultan Iskandar Tsani. Setelah sang suami wafat ketika itu sangat sulit mencari sosok pengganti laki-laki yang masih memiliki ikatan keluarga, sehingga Safiatuddin Syah pun maju untuk dijadikan ratu. Dalam masa kepemimpinannya, terjadi hal-hal luar biasa. Sayangnya, di sisi lain kontra pun terjadi lantaran beliau adalah wanita.
Pada tahun 1639 ketika terjadi Perang Malaka, Sultanah Safiatuddin bahkan membentuk sebuah barisan perempuan untuk menguatkan benteng istana. Banyak kebijakan bernilai positif yang dilakukan oleh ratu hebat ini. Salah satu yang terkenal adalah tentang tradisi pemberian hadiah berupa tanah untuk pahlawan perang. Masa pemerintahan sultanah Safiatuddin pun dinilai sangat bijak, di mana menyoal hukum serta adat istiadat dijalankan dengan baik.
Pemimpin perempuan pada kala itu masih dianggap tabu sehingga menimbulkan banyak kontra dari sejumlah kalangan. Ada banyak faktor yang menjadikan pengangkatan sang ratu menuai protes. Dari sisi kultur, sebagai kerajaan berbasis Islam memiliki pemimpin perempuan dianggap agak bertentangan dengan hukum.
Ketika itu banyak tokoh dan ulama yang tidak menyukai Safiatun menjadi pemimpin dengan alasan-alasan khusus. Walaupun demikian, tidak sedikit pula yang mendukung Safiatuddin menjadi Sultanah.
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab.
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.
Sultanah Safiatuddin dikenal sebagai pemimpin cerdas serta cakap menyoal urusan negara/pemerintahan. Ketika masa jabatannya berakhir ada sebuah sesi unik atau gebrakan baru dalam kerajaan Islam.
Disebabkan tidak memiliki keturunan, sang ratu akhirnya mengangkat tiga orang perempuan meneruskan tahtanya. Lalu di mana nilai uniknya? Ya, ketiga perempuan tersebut justru bukan berasal dari keturunan ningrat atau bangsawan Aceh, melainkan kalangan biasa. Ketiga perempuan tersebut adalah Sultanah Nurul Alam Nkiyahtudin, Sultanah Inyatsyah Zakiatudin serta Sultanah Kemalat Syah. Setelah Safiatuddin, Aceh pun dipimpin oleh ketiga sosok ini. Ini adalah gebrakan yang luar biasa yang mungkin jarang atau bahkan tidak dilakukan oleh kebanyakan pemimpin.
Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat merupakan putri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari permaisuri pertamanya, Putri Sani Ratna Sendi Istana. Sri Ratu memerintah Kerajaan Aceh setelah mangkatnya Sultan Iskandar Tsani pada 1050 Hijriyah atau 1641 Masehi.
Selama masa pemerintahannya mulai 1050 Hijriyah hingga 1086 Hijriyah atau 1641 Masehi hingga 1675 Masehi, Kerajaan Aceh mencapai kemajuan yang cukup baik, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sebelum berstatus sebagai sultanah, Safiatuddin Syah merupakan istri dari Sultan Iskandar Tsani. Setelah sang suami wafat ketika itu sangat sulit mencari sosok pengganti laki-laki yang masih memiliki ikatan keluarga, sehingga Safiatuddin Syah pun maju untuk dijadikan ratu. Dalam masa kepemimpinannya, terjadi hal-hal luar biasa. Sayangnya, di sisi lain kontra pun terjadi lantaran beliau adalah wanita.
Putri Sri Alam Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah merupakan sultanah pertama yang memimpin kerajaan Islam Aceh Darusalam. Masa kepemimpinannya mencapai 31 tahun mulai dari tahun 1644-1675.
Pada tahun 1639 ketika terjadi Perang Malaka, Sultanah Safiatuddin bahkan membentuk sebuah barisan perempuan untuk menguatkan benteng istana. Banyak kebijakan bernilai positif yang dilakukan oleh ratu hebat ini. Salah satu yang terkenal adalah tentang tradisi pemberian hadiah berupa tanah untuk pahlawan perang. Masa pemerintahan sultanah Safiatuddin pun dinilai sangat bijak, di mana menyoal hukum serta adat istiadat dijalankan dengan baik.
Pemimpin perempuan pada kala itu masih dianggap tabu sehingga menimbulkan banyak kontra dari sejumlah kalangan. Ada banyak faktor yang menjadikan pengangkatan sang ratu menuai protes. Dari sisi kultur, sebagai kerajaan berbasis Islam memiliki pemimpin perempuan dianggap agak bertentangan dengan hukum.
Ketika itu banyak tokoh dan ulama yang tidak menyukai Safiatun menjadi pemimpin dengan alasan-alasan khusus. Walaupun demikian, tidak sedikit pula yang mendukung Safiatuddin menjadi Sultanah.
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC dengan Portugis. Ia dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab.
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti) yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala. Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.
Sultanah Safiatuddin dikenal sebagai pemimpin cerdas serta cakap menyoal urusan negara/pemerintahan. Ketika masa jabatannya berakhir ada sebuah sesi unik atau gebrakan baru dalam kerajaan Islam.
Disebabkan tidak memiliki keturunan, sang ratu akhirnya mengangkat tiga orang perempuan meneruskan tahtanya. Lalu di mana nilai uniknya? Ya, ketiga perempuan tersebut justru bukan berasal dari keturunan ningrat atau bangsawan Aceh, melainkan kalangan biasa. Ketiga perempuan tersebut adalah Sultanah Nurul Alam Nkiyahtudin, Sultanah Inyatsyah Zakiatudin serta Sultanah Kemalat Syah. Setelah Safiatuddin, Aceh pun dipimpin oleh ketiga sosok ini. Ini adalah gebrakan yang luar biasa yang mungkin jarang atau bahkan tidak dilakukan oleh kebanyakan pemimpin.
Category: Sejarah