Panglima Maharaja Tibang, Pengkhianat Bangsa Aceh

Unknown | 1:09 AM |


Data Aceh. Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad bukan keturunan Aceh. Ia berasal dari Lahore, Hindustan yang datang ke Aceh selagi masih anak-anak. Tadinya ia berdiam pada uleebalang Gigieng Bentara Keumangan di pantai Utara Aceh dan tidak lama antaranya ia berada dalam lingkungan terdekat Sultan Aceh.

Sejak pemuda ia telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang panglima perang. Atas jasa-jasa yang diberikan sultan telah menghibahkan kepadanya sebuah kampung yang bernama Tibang sebagai hak miliknya yang pada waktu itu mencakup sepuluh buah menunasah. Disebabkan hibah inilah ia menggunakan gelar Panglima Tibang.

Ramasamy, seorang pemuda dari India selatan, suatu ketika singgah di pelabuhan kerajaan Aceh. Ia hanya seorang perantau yang punya keahlian sebagai pesulap. Berbekal keahliannya itu pula, ia mampu menarik simpati masyarakat Aceh di pelabuhan. Keahliannya main sulap akhirnya sampai juga ke istana kerajaan Aceh Darussalam. Dalam sebuah perhelatan ia pun diundang untuk menunjukkan kebolehannya itu.

Pemuda pengembara itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui pertunjukan sulapnya, ia berhasil masuk istana. Kesempatan itu pula yang digunakannya untuk menarik simpati raja Aceh. Hal itu pun dituainya, setelah ia memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad. Sebagai mualaf, biaya hidupnya ditanggung kerajaan.

Ia pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di istana, setelah Sultan Mahmud Alauddin Syah (1871-1874) mengangkatnya sebagai syahbandar di pelabuhan Aceh. Karena jabatan itu, ia pun diberi gelar kehormatan, layaknya seorang bangsawan, Teuku Panglima Maha Raja Tibang Muhammad, yang sepanjang masa dikenang oleh bangsa Aceh sebagai pengkhianat, yang menggunting dalam lipatan.
Pengkhianatan Panglima Tibang, bermula ketika ia ditunjuk oleh Sultan Aceh, untuk memimpin utusan kerajaan Aceh yang akan berunding dengan Belanda di Riau, agar pihak Belanda sebaiknya datang ke Aceh pada Desember 1872. Hal itu merupakan upaya kerajaan Aceh untuk mengulur-ngulur waktu, sambil mempersiapkan kerja sama dengan Amerika dan Italia dalam menghadapi Belanda.

Setelah utusan sultan pulang dari Turki di bawah pimpinan Perdana Menteri Kerajaan Aceh merangkap Mangkubumi Habib Abdurrahman el Zahir. Persaingan politik pun terjadi. Panglima Tibang bermaksud menancapkan pengaruhnya kepada sultan untuk mengalahkan Habib. Untuk itu ia menuju Singapura. Dalam perjalanan pulang, ia menghubungi utusan Amerika dan Italia, guna memperoleh bantuan untuk menghadapi peperangan melawan Belanda. Armada Amerika yang berada di Hongkong, di bawah pimpinan Laksamana Jenkis pun setuju untuk membantu Aceh berperang dengan Belanda.

Namun di tengah usaha Aceh melawan agresi Belanda tersebut, pada tahun 1879, Panglima Tibang yang dipercayakan sultan untuk menggalang diplomasi di luar negeri, berbalik arah. Ia meninggalkan rekan seperjuangannya, bergabung dengan Belanda untuk kemudian menyerang Aceh. Kepercayaan yang diberikan raja Aceh kepadanya pun dibalas dengan pengkhianatan. Tak pelak, nama Panglima Tibang sampai kini tertoreh di sanubari rakyat Aceh sebagai pengkhianat yang tak terampuni.

Pelabelan nama Panglima Tibang sebagai pengkhianat nomor wahid pun terus berlanjut sampai kini. Dalam sejarah konflik Aceh, tak terkecuali ditubuh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nama Panglima Tibang selalu diberikan kepada orang-orang yang berkhianat atau menyerah kepada pemerintah. Sebuah label yang nilai kebenciannya melebihi cap cuak, sipil yang menjadi informan terhadap tentara. Kisah pengkhianatan Panglima Tibang itu, kini menjadi catatan kelam sejarah Aceh.


Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Category:

Harga Emas Terkini