Habib Abdurrahman al-Habsyi (Habib Bugak Asyi)

Unknown | 7:44 PM |


Data Aceh. Habib Abdurrahman dilahirkan di Makkah Al-Mukarramah dalam lingkungan keluarga Al-Habsyi Ba’alwy Hasyimy yang memiliki kedudukan khusus dan terhormat di kalangan para petinggi Penguasa Mekkah pada zaman itu. Menurut catatan Rabithah Alawiyah beliau adalah cucu saudara dari Maulana Sayyid Muhammad bin Husein bin Ahmad Al-Habsyi yang menjadi Mufti Mekkah sekitar tahun 1750an. Beliau mendapat pendidikan di lingkungan Masjid al-Haram sampai menjadi Ulama.

Sebelum ke Aceh, Habib Abdurrahman adalah seorang Ulama yang mengajar di Masjid al-Haram Makkah. Kemudian Syarif Makkah mengutus beliau ke Kerajaan Bandar Aceh Darussalam bersama beberapa orang Ulama dari Masjid al-Haram. Di antaranya adalah Maulana Syeikh Abdullah al-Bait, kakek dari Syeikh Abdurrahim yang dikenal sebagai Tgk.Syik Awe Geutah. Menurut Sarakata Kerajaan Aceh Sultan Alaiddin Muhammad Syah pada tahun 1785 M (1206 H) Habib Abdurrahman sudah berada di wilayah Peusangan dengan gelar Teungku yang mendapat hadiah tanah “kali lelab” atau “krueng matee” di sekitaran Bugak wilayah Negeri Peusangan. Di tempat inilah beliau tinggal serta dikenal sebagai Habib Bugak.

Setelah beberapa tahun di Aceh, Habib Abdurrahman al-Habsyi kembali ke Makkah. Karena dari kalangan Ulama Sayyid di Makkah, maka beliau dapat memiliki rumah di depan Ka’bah. Ketika akan kembali ke Aceh, beliau mewaqafkan rumah tersebut untuk kepentingan masyarakat Aceh dengan persyaratannya pada tahun 1224 H atau 1800 M. 

Beliau hanya menyebutkan namanya sebagai Habib Bugak Asyi dalam ikrar waqaf di hadapan Mahkamah Syar’iyah Makkah. Setelah mewaqafkan hartanya, beliau kembali ke Kerajaan Aceh pada tahun itu juga, dan kembali ke wilayah Peusangan, sebagaimana disebutkan dalam 3 Sarakata Sultan Alaiddin Jauharul Alam Syah tahun 1224 H, dan tinggal di Bugak Peusangan. Sampai dengan tahun 1845 M beliau masih bermukim di sekitar wilayah Peusangan dan mengajar di sekitar Bugak, Pante Sidom, Pante Peusangan, Panjoe, Manik dan lainnya sebagaimana disebutkan dalam Sarakata Sultan Alaiddin Mansyur Syah yang dikeluarkan pada tahun 1270 H atau 1845 M.

Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelaran) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggalnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjung dan dikuti oleh Ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lain-lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarga dan masyarakatnya yaitu Habib Bugak. Di samping itu beliau juga dikenal dengan beberapa gelar yang melambangkan kedudukan beliau di Kerajaan Aceh, seperti Teungku Habib, Tengku Sayyid Peusangan, Tuwanku Peusangan dan Teuku Chik Di Mon Kelayu.

Habib Abdurrahman al-Habsyi disebut sebagai Habib Bugak karena beliau bertempat tinggal di wilayah Bugak Peusangan sebagaimana disebutkan sarakata Sultan Alaiddin Muhammad Syah yang bertahun 1785 M dan Sarakata Sultan Mansyur Syah yang bertahun 1845 M. Menurut cerita yang berkembang di kalangan keturunannya, setibanya beliau dan keluarganya di Peusangan, beliau bertempat tinggal di wilayah Bugak yang menurut Sarakata Sultan Mansyur Syah adalah sebuah mukim yang berada dibawah wilayah Negeri Peusangan. Demikian pula beliau tinggal di wilayah Bugak sampai wafat dan dimakamkan di wilayah Kemukiman Bugak yang sebelumnya menjadi wilayah Kecamatan Peusangan dan sekarang menjadi wilayah Kecamatan Jangka di Kabupaten Bireuen.

Ada yang berpendapat bahwa gelaran Habib Bugak yang disandangnnya adalah warisan dari kakek buyutnya yang telah datang lebih dahulu di kawasan Bugak Peusangan. Pendapat ini berdasarkan Sarakata Sultan Alaiddin Muhammad Syah tahun 1785 M yang menyebutkan nama Teungku Sayyid Ahmad Habsyi, kakek buyut Sayyid Abdurrahman bin Alwi al-Habsyi. Namun dalam catatan Rabithah Alawiyah, yang disebutkan namanya ini, tidak diketahui atau pernah tercatat tinggal di Aceh.



Di kampung tempat makamnya sekarang beliau membangun sebuah dayah yang dikenal dengan Dayah Teungku Chik Di Reubee. Masyarakat sekitar dan dari tempat-tempat yang lain datang ke sana untuk memperdalam pengetahuan agama Islam. Karena itu, nama beliau dan dayahnya tidak hanya dikenal di kawasan Pidie tetapi juga ke daerah-daerah lain, bahkan sampai ke Malaysia, Patani, dan Brunai Darussalam.

Selain ahli di bidang agama Islam, Syeikh Abdus Samad juga teknokrat dalam pembangunan pertanian dan irigasi. Sejak awal menetap di Reubee, sambil menyiarkan agama Islam beliau juga membuka lahan-lahan pertanian, membangun jaringan irigasi dan bendungan. Wujud konkrit dari karya beliau adalah persawahan, saluran air Lueng Teungku Chik Di Reubee, dan Seuneulhob Reubee.

Ketika proyek pembangunan pertanian tersebut merupakan karya semusim Teungku Chik Di Rebee yang dimanfaatkan selama berabad-abad oleh masyarakat luas. Tepat agaknya untuk dikatakan sebagai wujud Pembangunan Berkelanjutan, karena tidak merusak lingkungan dan hasilnya mengalir sepanjang musim.

Teungku Chik Di Reubee merintis pembangunan irigasi untuk Kecamatan-kecamatan Delima, Pidie, dan Batee. Teungku Chik Di Pasi membangun Lueng Bintang yang memasok air untuk pengairan sawah di kecamatan-kecamatan Titeue/Keumala, Kota Bakti, Mutiara, Peukan Baro, Indrajaya, Kembang Tanjung, dan Simpang Tiga. Teungku Chik Trueng Campli membangun Lueng Trueng Campli yang bermuara di Pasi Lhok. Sejak tahun 90-an, ketiga jaringan irigasi itu dijadikan satu proyek, yaitu Proyek Irigasi Baro Raya. Three rivers, one plan, and one management.


Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Category: ,

Harga Emas Terkini