Asal Usul Tari Bines Gayo Lues
Data Aceh. Tari Bines merupakan salah satu seni tari di Gayo Lues yang ditarikan hanya oleh sekelompok perempuan atau gadis. Tidak ada yang bisa mengartikan kata Bines itu sendiri. Bines sendiri disebut tari dikarenakan memiliki gerak ritmis yang mengikuti ekspresi jiwa para penarinya.
Berikut beberapa cerita rakyat mengenai asal usul tari Bines :
1. Cerita Rakyat “Ni Malelang Ode”
Alkisah ada seorang ibu yang mempunyai putri yang sangat disayangi, bernama Ni Malelang Ode.Namun karena telah berbuat zina dengan seorang pemuda di desanya, masyarakat yang merasa malu dan terkena aib, memutuskan untuk menghukum mati gadis tersebut.Sang Ibu melihat kenyataan itu, sangat sedih hatinya.Sebelum dimakamkan, setiap kali terlihat ibu menangis meratapi jenasah anaknya sambil meratap memilukan hati bagi siapapun yang mendengarnya.Berkali kali tangannya menggoyangkan jenasah itu seolah – olah ingin membangunkannya dan sesekali menghentakkan kakinya.Keadaan itu menimbulkan simpati para tetangganya dan mereka berkumpul di dekat jenasah serayamenghibur hati sang ibu. Dari adegan tersebut, dalam tari Bines terdapat syair yang berisi ratapan yang bernuansa sedih serta gerak menghentakkan kaki yang diadopsi dari kejadian itu.
2. Cerita rakyat “Ibu yang kehilangan putra satu-satunya”
Versi asal mula tari Bines lainnya, adalah kisah tentang seorang ibu yang mempunyai 7 anak, 6 anak perempuan dan 1 laki-laki.Mereka bertujuh saudara sangat akrab dan saling menyayangi. Pada suatu hari oleh karena salah satu sebab, maka putra semata wayangnya itu meninggal dunia. Begitu cintanya kepada saudara laki2 nya itu, 6 gadis itu setiap malam secara bersama sama mengelilingi jenasah sambil menangis meratapi kepergiannya.Ratapannya itu terdengar indah meskipun memilukan. Formasi duduk mereka ketika meratap, persis dengan formasi dasar tariBines, yaitu dua di atas kepala, 2 di samping kanan dan 2 di samping kiri.Situasi itu terlihat oleh seorang ulama penyebar agama Islam di daerah itu, yakni Syekh Abdul Karim.Dengan penuh kearifan dan kelembutan beliau mengingatkan bahwa meratapi orang yang sudah meninggal itu bertentangan dengan ajaran Islam, dan sebaiknya syair ratapan itu akan lebih baik jika diperdengarkan bagi yang hidup. Maka sejak saat itu dalam tari Bines terdapat syair ratapan, dan gerak menelungkup. Namun dalam perkembangannya syair ratapan tersebut mulai ditinggalkan.
3. Cerita Rakyat Tentang ” Gajah Putih ”
Cerita rakyat ke 3 yang beredar di tengah masyarakat Gayo sebagai cikal bakal adanya Tari Bines , adalah tentang kisah Gajah Putih. Alkisah pada suatu hari di alun-alun kerajaan yang diperintah oleh Raja Lingge terlihat ada seekor gajah putih mengamuk mengobrak -abrik bangunan disekitarnya.Tidak ada seorangpun yang mampu menundukkannya.Maka salah seorang putra Raja Linnge yang bernama Sengeda memberanikan diri mohon kepada ayahnda agar diijinkan menaklukkan amukan gajah itu. Atas ijin sang raja, mulailah dijalankan siasatnya.Sebenarnya Sengeda sudah tahu bahwa Gajah Putih itu adalah jelmaaan Bener Meriah kakak kandungnya yang sudah lama diasingkan karena fitnah teman-temannya.
Semua orang yang semula mengeroyok gajah putih tersebut diminta untuk mundur dan menghentikan serangannya.Sebagai gantinya dibunyikanlah alat-alat musik seperti rebana, canang, dan gong. Sedangkan para ibu membunyikan musik lesung secara serentak. Demi mendengar bunyi tetabuhan itu sang gajah yang semula bersikap garang berangsur-angsur tenang. Selanjutnya Sengeda memerintahkan tigapuluh pemuda membentuk formasi setengah lingkaran mengelilingi gajah sembari bertepuk tangan dengan irama yang beraturan dan melantunkan puji-pujian atas sifat baik Bener Meriah.Dengan gerak perlahan, Sengeda menari dihadapan gajah, sehingga merangsang gajah ikut bergerak maju mundur berirama. Menurut cerita tutur, gerak itulah yang melahirkan tari Bines.
Berikut beberapa cerita rakyat mengenai asal usul tari Bines :
1. Cerita Rakyat “Ni Malelang Ode”
Alkisah ada seorang ibu yang mempunyai putri yang sangat disayangi, bernama Ni Malelang Ode.Namun karena telah berbuat zina dengan seorang pemuda di desanya, masyarakat yang merasa malu dan terkena aib, memutuskan untuk menghukum mati gadis tersebut.Sang Ibu melihat kenyataan itu, sangat sedih hatinya.Sebelum dimakamkan, setiap kali terlihat ibu menangis meratapi jenasah anaknya sambil meratap memilukan hati bagi siapapun yang mendengarnya.Berkali kali tangannya menggoyangkan jenasah itu seolah – olah ingin membangunkannya dan sesekali menghentakkan kakinya.Keadaan itu menimbulkan simpati para tetangganya dan mereka berkumpul di dekat jenasah serayamenghibur hati sang ibu. Dari adegan tersebut, dalam tari Bines terdapat syair yang berisi ratapan yang bernuansa sedih serta gerak menghentakkan kaki yang diadopsi dari kejadian itu.
2. Cerita rakyat “Ibu yang kehilangan putra satu-satunya”
Versi asal mula tari Bines lainnya, adalah kisah tentang seorang ibu yang mempunyai 7 anak, 6 anak perempuan dan 1 laki-laki.Mereka bertujuh saudara sangat akrab dan saling menyayangi. Pada suatu hari oleh karena salah satu sebab, maka putra semata wayangnya itu meninggal dunia. Begitu cintanya kepada saudara laki2 nya itu, 6 gadis itu setiap malam secara bersama sama mengelilingi jenasah sambil menangis meratapi kepergiannya.Ratapannya itu terdengar indah meskipun memilukan. Formasi duduk mereka ketika meratap, persis dengan formasi dasar tariBines, yaitu dua di atas kepala, 2 di samping kanan dan 2 di samping kiri.Situasi itu terlihat oleh seorang ulama penyebar agama Islam di daerah itu, yakni Syekh Abdul Karim.Dengan penuh kearifan dan kelembutan beliau mengingatkan bahwa meratapi orang yang sudah meninggal itu bertentangan dengan ajaran Islam, dan sebaiknya syair ratapan itu akan lebih baik jika diperdengarkan bagi yang hidup. Maka sejak saat itu dalam tari Bines terdapat syair ratapan, dan gerak menelungkup. Namun dalam perkembangannya syair ratapan tersebut mulai ditinggalkan.
3. Cerita Rakyat Tentang ” Gajah Putih ”
Cerita rakyat ke 3 yang beredar di tengah masyarakat Gayo sebagai cikal bakal adanya Tari Bines , adalah tentang kisah Gajah Putih. Alkisah pada suatu hari di alun-alun kerajaan yang diperintah oleh Raja Lingge terlihat ada seekor gajah putih mengamuk mengobrak -abrik bangunan disekitarnya.Tidak ada seorangpun yang mampu menundukkannya.Maka salah seorang putra Raja Linnge yang bernama Sengeda memberanikan diri mohon kepada ayahnda agar diijinkan menaklukkan amukan gajah itu. Atas ijin sang raja, mulailah dijalankan siasatnya.Sebenarnya Sengeda sudah tahu bahwa Gajah Putih itu adalah jelmaaan Bener Meriah kakak kandungnya yang sudah lama diasingkan karena fitnah teman-temannya.
Semua orang yang semula mengeroyok gajah putih tersebut diminta untuk mundur dan menghentikan serangannya.Sebagai gantinya dibunyikanlah alat-alat musik seperti rebana, canang, dan gong. Sedangkan para ibu membunyikan musik lesung secara serentak. Demi mendengar bunyi tetabuhan itu sang gajah yang semula bersikap garang berangsur-angsur tenang. Selanjutnya Sengeda memerintahkan tigapuluh pemuda membentuk formasi setengah lingkaran mengelilingi gajah sembari bertepuk tangan dengan irama yang beraturan dan melantunkan puji-pujian atas sifat baik Bener Meriah.Dengan gerak perlahan, Sengeda menari dihadapan gajah, sehingga merangsang gajah ikut bergerak maju mundur berirama. Menurut cerita tutur, gerak itulah yang melahirkan tari Bines.
Category: Budaya, Data Gayo Lues, Hikayat