Pahlawan Nasional Aceh Teungku Chik di Tiro
Data Aceh. Sejumlah sejarawan dan pelaku sejarah Belanda mengakui perang melawan Aceh sejak 1873 adalah perang yang paling menyedot biaya dan stamina.
Perlawanan muncul dari delapan penjuru angin. Dari pergerakan berkelompok, hingga serangan tiba-tiba yang dilakukan orang per orang. Serangan oleh individu ini melahirkan istilah Atjeh Moorden atau Aceh pungo (Aceh gila). Atjeh Moorden secara harfiah bermakna pembunuhan Aceh.
Untuk mengapresiasi perjuangan memperjuangkan kemerdekaan, pemerintah menobatkan mereka yang berjasa sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu pahlawan nasional dari Aceh adalah Teungku Chik di Tiro.
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.
Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Teungku Chik di Tiro tampil sebagai pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda kian meredup pada 1881, delapan tahun setelah Belanda menyatakan maklumat perang terhadap Aceh.
Perlawanan muncul dari delapan penjuru angin. Dari pergerakan berkelompok, hingga serangan tiba-tiba yang dilakukan orang per orang. Serangan oleh individu ini melahirkan istilah Atjeh Moorden atau Aceh pungo (Aceh gila). Atjeh Moorden secara harfiah bermakna pembunuhan Aceh.
Untuk mengapresiasi perjuangan memperjuangkan kemerdekaan, pemerintah menobatkan mereka yang berjasa sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu pahlawan nasional dari Aceh adalah Teungku Chik di Tiro.
Teungku Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan 1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme. Sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.
Dengan perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih dikuasainya.
Teungku Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun 1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda. Teungku Chik di Tiro tampil sebagai pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda kian meredup pada 1881, delapan tahun setelah Belanda menyatakan maklumat perang terhadap Aceh.
Bersama Teungku Chik Pante Kulu, Teungku Chik di Tiro mengobarkan semangat perang sabil, perang di jalan Allah.
Dari Lamlo, Pidie, Teungku Chik di Tiro hijrah ke Aceh Besar dan menjadikan Desa Meureu, Indrapuri, sebagai basis gerilyawan. Meureu yang kontur alamnya perpaduan antara dataran rendah dan perbukitan dinilai cocok sebagai benteng pertahanan alami.
Pada 1881, pasukan Teungku Chik di Tiro merebut satu per satu benteng Belanda seperti di Lambaro dan Aneuk Galong.
Masa perlawanan Teungku Chik di Tiro, Belanda dibuat kalang kabut. Setidaknya, Belanda empat kali mengganti gubernurnya saat menghadapi Teungku Chik di Tiro.
Teungku Chik di Tiro meninggal bukan karena peluru Belanda, melainkan lantaran diracun lewat makanan yang disajikan oleh seorang perempuan Aceh pada 1891. Jasadnya dimakamkan di Desa Meureu, Indrapuri, tempat ia menggerakkan perlawanan melawan Belanda.
Atas jasa-jasanya, pemerintah memberi gelar pahlawan nasional pada 1973