Perang Cumbok, Perang Revolusi Sosial Masyarakat Aceh

Unknown | 12:06 AM |

DATA ACEH - Dalam masa peralihan kekuasaan Jepang di Aceh, terjadi perselisihan pandangan antara kaum ulama yang disokong oleh rakyat, dengan kaum uleebalang, sisa-sisa kaki tangan Belanda di Aceh yang ingin membuka pintu bagi masuknya kembali Belanda ke Aceh.
Peta Penyerangan Terhadap Cumbok

1942
Uleebalang yang dipercaya sebagai zelfbestuurder pada masa kesultanan merupakan ’raja-raja’ kecil yang absolut. Mereka memegang kekuasaan turun temurun atas nama sultan. Namun semakin lama kekuasaan yang dipegang oleh Uleebalang ini, ikatan antaranya menjadi lemah dan kemudian memutuskan serta memisahkan diri dari pemerintahan sultan secara diam-diam. Pemisahan diri ini tentu saja memudahkan para penjajah yang memasuki Aceh untuk mempengaruhi raja-raja kecil tersebut. Uleebalang yang sebelumnya bahu membahu dengan ulama memerangi penjajah Belanda, lambat laun berubah dan memihak serta setia kepada Belanda. Sementara ulama tidak pernah menerima ”kekuasaan Belanda” itu. Karenanya, tidak mengherankan apabila pada bulan Maret 1942 ketika terjadi pemberontakan terhadap Belanda dan ulama yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) mengijinkan serta bekerjasama dengan Jepang untuk memasuki Aceh. Faktor tersebut terus memperuncing hubungan kedua belah pihak. Ulama akhirnya mengambil keputusan untuk memerangi uleebalang dengan maksud menghapus sistem pemerintahan feodal bersama dengan kekuasaan Belanda apabila perang pasifik meletus. (El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergolakan Aceh).

17 Agustus s/d September 1945
Kabar tentang adanya Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang sampai ke Aceh pada bulan September dengan perantaraan kawat yang dikirim oleh A.K Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang, mendapat sambutan dingin dari beberapa uleebalang. Mereka malah mencemooh proklamasi tersebut dan bermaksud menggagalkannya. (Abdullah Arif dalam tulisannya Di Sekitar Pengkhianatan Cumbok). Tindakan yang dilakukan para uleebalang tersebut akhirnya memunculkan satu kesepakatan final bagi para ulama untuk memerangi zelfbestuurder tersebut secara terang-terangan

25 Agustus 1945
Sejak Sekutu berhasil menduduki Sabang, Pulau Weh, dari tangan Jepang tanggal 25 Agustus 1945, beberapa uleebalang Aceh memang menerima surat dari wakil Sekutu di Sabang, berisi tawaran kerja sama. Bahkan di Kutaraja dan Lhoknga juga sering disebarkan selebaran-selebaran dari pesawat terbang yang isinya rayuan untuk bersama Belanda/NICA membangun Indonesia.
Terhadap hal itu para uleebalang terpecah dalam tiga sikap. Ada yang senang menyambut ajakan kerjasama. Beberapa di antaranya secara terang-terangan menolak. Namun ada juga yang berdiam diri, tidak bereaksi. Seperti kita ketahui, Sabang merupakan pangkalan Sekutu yang dipimpin oleh Letnan C A . Sani. Tokoh ini adalah NICA/Belanda. Ia menerima jabatan itu dari pendahulunya, yaitu Letnan Sekutu Hammers. Letnan Hammers juga NICA yang bertindak sebagai wakil Sekutu. Ia menerima langsung penyerahan Sabang dari Jepang pada 25 Agustus 1945. (Ketika berlangsung Perang Asia Timur Raya, Jepang menjadikan Pulau Weh sebagai pusat armada Kai Gun yang terbesar di Sumatera.)

25 September 1945
Pada tanggal 25 September para wakil Sekutu tiba di Kutaraja dari Sabang, Pulau Weh, langsung menempati rumah yang sudah dipersiapkan oleh Jepang. Kehadiran wakil-wakil Sekutu itu pada mulanya tidak menjadi persoalan. Akan tetapi yang menimbulkan masalah adalah oknum-oknum
kulit putih yang membonceng dan menyamar sebagai wakil Sekutu dan mereka bertindak untuk mengembalikan kekuasaan kolonialisme Belanda. Mereka melakukan kontak dengan beberapa uleebalang dan menawarkan kerjasama. Hal itu cepat diketahui karena beberapa pemuda secara samar-samar mengawasi gerak-gerik mereka.

5 Oktober 1945
Dari Sabanglah usaha-usaha infiltrasi ke Aceh, terutama Kutaraja, mereka lakukan. Salah seorang perancang infiltrasi itu adalah Emil Daniel, Pembantu Letnan C A . Sani, yang kemudian diangkat sebagai Kepala Polisi Rahasia, Politieke Inlichtingen Dienst alias PID.

Pada tanggal 5 Oktober serombongan kecil wakil Sekutu di Medan datang ke Kutaraja dengan pesawat udara dan mendarat di landasan Lhoknga. Komandannya Mayor M.J. Knottenbelt, yang ternyata adalah anggota Pasukan Komando Belanda. Rombongan ini ditempatkan oleh Jepang di sebuah wisma yang cukup menyenangkan. Bendera Inggris dikibarkan di halaman wisma itu. Di atas kertas tugas Knottenbelt adalah sebagai peninjau dan pengawas kegiatan tentara Jepang. Tetapi tugas intinya adalah melaporkan kegiatan Republiken Aceh kepada Sekutu, di samping memantau gerak-gerik tentara Nippon yang gelisah menunggu pemulangan. Juga menjaga jangan sampai Jepang-jepang itu menyimpan dan menyerahkan senjatanya kepada pihak RI. Boleh jadi perwira Belanda yang bertugas sebagai wakil Sekutu itu berusaha mempengaruhi kekuatan-kekuatan perjuangan di Aceh, untuk bekerjasama dengan Belanda.


22 Oktober 1945
Pelaku pergolakan di Aceh, Hasan Saleh dalam buku Mengapa Aceh Bergolak mengungkapkan, untuk mengumpulkan kekuatan kaum uleebalang di Pidie, sebuah kenduri besar dengan memotong dua kerbau digelar pada 22 Oktober 1945 di rumah Teuku Keumangan Umar, Uleebalang Keumangan. Hasilnya sepakat membentuk markas ulebalang dengan pasukan bersenjatanya dinamai Barisan Penjaga Keamanan (BPK). Markas ini dipimpin oleh uleebalang dari Mukim Cumbok Teuku Muhammad Daod, ia dikenal sebagai Daod Cumbok.

Hasan Saleh menduga diangkatnya Daod Cumbok sebagai pemimpin gerakan kaum uleebalang tersebut, karena ia merupakan Gunco Lamlo pada masa pendudukan Jepang, dan di wilayah kekuasaannya di Lamlo terdapat yasin soko (gudang senjata) Jepang dan sebuah penjara peninggalan Belanda yang bisa digunakan untuk kepentingan perang.

Untuk memperkuat posisinya para Uleebalang atau Zelfbestuurder se-Kabupaten Pidie mengadakan musyawarah pada tanggal 22 Oktober 1945, bertempat di rumah Teuku Uma Keumangan. Tidak semua Zelfbestuurder atau Uleebalang ikut dalam pertemuan ini. Mereka dalam rapat ini telah mengambil dua keputusan penting yaitu:
1. Membentuk suatu organisasi yang tugasnya mempertahankan kedudukan uleebalang, bernama Markas Besar Uleebalang, berpusat di Lam Meulo;
2. Untuk dapat bertindak secara efektif dibentuk pula suatu barisan dengan persenjataan lengkap yang dinamakan Barisan Penjaga Keamanan (BPK).
Selengkapnya susunan pengurus BPK adalah:
Ketua/Panglima: Teuku Sri Muda Pahlawan Bentara Cumbok Muhammad Daud
Wakil Panglima: Teuku Mahmud, adik kandung Teuku Daud Cumbok
Kepala Staf: Teuku Abdullah Titeu, adik ipar Teuku Daud Cumbok
Barisan penjaga keamanan dibagi atas 3 bagian :
1. Barisan Cap Bintang Komandan: Teuku Abdullah Titeue Tugas utamanya adalah menghadapi rakyat yang menentang Uleebalang.
2. Barisan Cap Tumbak Komandan: Teuku Sarong Peudada Tugas utamanya adalah menangkap para pemimpin rakyat yang menghalangi tugas mereka.
3. Barisan Cap Sauh Komandan: Teuku Mahmud Tugas utamanya adalah mencari dana dan sarananya, termasuk mengambil senjata Jepang.
Anggota BPK direkrut dari mantan K N I L [KNIL: Koninklijk Nederlands Indiesch Leger, Tentara Kerajaan Hindia Belanda.] dan latihan-latihan kemiliterannya dilakukan oleh mantan tentara Jepang. Diperkirakan BPK memiliki lebih seratus pucuk senapan dan juga meriam-meriam ringan.

Teuku Daud Beureueh Bersama Para Ulama Aceh


10 November 1945
Melihat gelagat itu para pemuda marah. Angkatan muda mendesak pemerintah RI di Aceh dan Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh (KNID Aceh) agar wakil-wakil Sekutu diusir dari Kutaraja. Demontrasi-demontrasi massa pun berlangsung di depan wisma tempat Knottenbelt. Situasi di Kutaraja kian panas. Akhirnya KNID Aceh meminta agar Knottenbelt meninggalkan Aceh.
Pada tanggal 10 November 1945 Knottenbelt dan stafnya berangkat ke Medan berkendaraan mobil ditemani Komandan TKR Syamaun Gaharu dan Wakil Ketua PRI, M . Saleh Rahmany. Dalam rombongan itu juga ada seorang Cina, Goh Moh Wan, yang bertindak sebagai penerjemah sekaligus penghubung antara Knottenbelt dengan T. Nyak Arief sewaktu di Kutaraja. Ternyata Moh Wan menjalin hubungan luas di kalangan Sekutu, NICA/Belanda. Rakyat yang marah menahan Moh Wan dan mengamankannya. Rombongan wakil Sekutu itu sampai di Medan dengan selamat

November 1945
November 1945, suhu politik di daerah ini mulai panas. Faktor utama penyebabnya adalah T. Daud Cumbok yang tak dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru akibat timbulnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. T. Daud Cumbok cs menghendaki agar Jepang menyerahkan senjatanya kepada mereka dengan pertimbangan karena Jepang adalah sahabat mereka. Selain itu, pada saat Jepang masih berkuasa mereka pernah menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Hal inilah yang menginspirasikan T. Daud Cumbok untuk mengambil senjata Jepang sebagai itikad baik mereka dalam membantu perjuangan Indonesia. 

Sementara T. Nyak Arief selaku Residen Aceh merasa gusar jikalau senjata tersebut akan jatuh ke tangan rakyat karena kondisi keamanan masih belum stabil. Ia mengirimkan utusannya ke Sigli untuk menemui Jepang dan meminta mereka, menyerahkan senjatanya ke pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selaku tentara resmi dari pemerintah Indonesia.

Pihak Jepang yang ditemui oleh utusan residen Aceh itu merasa keberatan melakukan penyerahan senjata secara cepat. Mereka atas dasar intruksi Iino, bekas Gubernur Pemerintahan Militer Jepang di Aceh, akan terus memelihara pertentangan antara ulama dan uleebalang. Bahkan harus lebih dipertajam dengan maksud untuk mengalihkan perhatian dan tekanan orang-orang Aceh atas tentara Jepang yang dikonsentrasikan di Banda Aceh, guna diberangkatkan kembali ke Jepang. Atas dasar intruksi Iino im Muramoto membuat kalkulasi bahwa perimbangan kekuatan (balance of power) antara dua golongan yang bersaing itu harus dipelihara. Karenanya, kekuatan uleebalang yang menurut kalkulasi Muramoto pada akhir November agak lemah, secara rahasia ia memerintahkan untuk melakukan penyerahan selusin senjata pada pihak tersebut yang diterima oleh T. Tjut Hasan, Gunco Sigli. 

Disisi lain, Muramoto berjanji secara terpisah kepada masing-masing pihak nanti pada tanggal 4 Desember senjata-senjata Jepang baru akan diserahkan sepenuhnya. Minggu akhir bulan November, ketegangan di Kabupaten Pidie memuncak. Kira-kira 200 orang yang bersenjata dari pengikut uleebalang Pidie, T. Pakeh Sulaiman, secara diam-diam pada tengah malam memasuki kota Sigli. Semua jalan masuk ke kota tersebut diblokade dan semua tempat yang strategis di duduki. 

Dari Lam Meulo datang pula massa lainnya yang tergabung dalam Tentara Cap Sauh di bawah pimpinan T. Abdullah Titeu dan Tentara Cap Tumbak di bawah pimpinan T. Sarong Peudada. Menurut sebagian penulis, tulis El Ibrahimy, tujuan uleebalang memasuki kota Sigli tersebut guna mendahului kaum ulama dan PRI menguasai senjata yang akan diserahkan oleh Jepang pada tanggal 4 Desember. Akan tetapi pada kenyataannya, perebutan senjata Jepang tersebut dilakukan untuk kepentingan perjuangan mereka sesuai dengan rencana yang telah disusun.

Dilain pihak, PRI dibawah pimpinan Hasan Ali dan Husin Sab mengerahkan pengikut-pengikutnya bersama dengan ribuan rakyat dari Garot dan Gigieng untuk mengepung kota Sigli. Begitu pula dengan keresidenan Aceh. T. Nyak Arif mengirimkan Sjamaun Gaharu dengan satu pasukan kecil dari TKR untuk mencoba mencari penyelesaian. Turut pula dalam peristiwa itu T. Panglima Polem Mohd. Ali selaku Wakil Residen yang mewakili Pemerintah Daerah Aceh dan T. Djohan Meuraxa selaku Wakil Gubernur Sumatera. 

Mereka berhasil mendesak pasukan Jepang untuk menyerahkan senjatanya kepada pihak berwajib (dalam hal ini adalah pemerintah Indonesia). Melihat situasi yang tidak menguntungkan, Nippon akhirnya menyerahkan seluruh senjata mereka kepada TKR dengan beberapa perjanjian, antaranya jaminan keselamatan nyawa dan harta benda tentara Jepang, berada sepenuhnya ditangan pemerintah Indonesia. 

Sebelum perjanjian ini ditandatangani, pihak TKR melalui Sjamaun Gaharu pada pukul 03.00 WIB menjumpai pimpinan-pimpinan PRI/PUSA yang berada ditengah ribuan rakyat diluar kota Sigli. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk membujuk mereka agar mau membubarkan diri karena persoalan senjata Jepang yang menjadi pemicu konflik telah diselesaikan oleh pihak pemerintah yang sah. Dengan kata lain, ketakutan mereka akan jatuhnya senjata Jepang ke tangan para uleebalang tidak akan terjadi lagi. Namun ditengah mediasi yang dilakukan pihak TKR ini, tiba-tiba dari arah uleebalang berkumpul yakni di depan rumah T. Pakeh Sulaiman, uleebalang Pidie terdengar letusan senjata sebanyak tiga kali yang diarahkan ke arah massa demonstran. Keadaan menjadi panas kembali. Banyak rakyat yang berada diluar kota Sigli tertembak. Pihak TKR yang berada di barisan rakyat demonstran dan bersenjata akhirnya membalas tembakan tersebut. Peperangan yang dihindari pun terjadi. Sebanyak 50 orang kurang lebih menjadi korban. Dominannya dari pihak PRI dan PUSA Padang Tiji dan T. Rizal salah satu anggota TKR yang berada di kerumunan demonstran PRI serta ajudan Sjamaun Gaharu. Guna mengantisipasi perlawanan pihak uleebalang dan melakukan perdamaian, Residen Aceh kembali mengirimkan satu detasemen TKR dari Kutaraja. Akan tetapi, tugas tentara TKR ini terbendung oleh sikap rakyat di Seulimum yang melucuti senjata mereka. Residen Aceh tak kehilangan akal. Ia kembali mengirimkan Polisi Istimewa ke Sigli bersama dengan T. Hamid Anwar, Ka.Staf TKR di Kutaraja. Pengerahan polisi rahasia ini berhasil menenangkan suasana

2 Desember 1945
Hal yang sama juga diungkapkan pelaku sejarah lainnya, Teuku Alibasjah Talsya. Dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan, Talsya menjelaskan, untuk memperkuat angkatan BPK, pasukan uleebalang pada 2 Desember 1945 memasuki kota Sigli untuk merampas senjata Jepang. Mereka ingin mendahului laskar rakyat dan Tentara Kemanan Rakyat (TKR) yang berencana melucuti senjata Jepang pada 4 Desember 1945.

Namun, gelagat pasukan uleebalang dengan BPK-nya itu diketahui TKR yang disokong rakyat dan ulama. Hal ini membuat suasana di Kota Sigli jadi genting, hingga terjadi bentrok antara gerakan rakyat dari TKR dan massa para pendukung uleebalang. Persoalan itu kemudian diketahui Jepang, mereka menyatakan tidak akan menyerahkan senjata baik kepada pihak manapun.

4 Desember 1945
Esoknya, 4 Desember 1945, Komandan TKR Syamaun Gaharu dari Banda Aceh tiba di Sigli untuk meredakan ketegangan, karena perselisihan antara kelompok uleebalang dengan barisan rakyat sudah berujung pada tembak menembak.

Syamaun Gaharu juga melakukan pertemuan dengan petinggi Jepang di Sigli. Pihak Jepang diwakili oleh Kentizi selaku Bo-etaitiyo Sigli dan beberapa opsirnya. Pertemuan berlangsung dalam suasana penuh saling curiga. Saat pembicaraan sedang berlangsung terjadi tembak menembak di pinggiran Kota Sigli antara kelompok barisan rakyat dengan kelompok uleebalang.

SURAT PERJANJIAN 

I. Lima hari lamanya tentara kita telah dikepung oleh berpuluh ribu orang barisan Indonesia. Menilik keadaan ini terpaksa kita menyerah kepada mereka.
II. Karena itu senjata-senjata kepunyaan kita seperti tertera di bawah ini, kita serahkan dalam tangan orang Indonesia yang berwajib. Senjata tersebut adalah sebagai tersebut dalam daftar terlampir.
III. Mulai pada saat penyerahan senjata-senjata tersebut dan seterusnya pihak Indonesia menjamin tentang keselamatan dan harta-harta dan orang-orang Nippon yang berkedudukan di daerah ini. Begitupjn bila tentara kita dan orang Nippon yang berkedudukan di daerah ini , perlu
pindah ke lain daerah, juga menjamin keselamatan kita sampai di tujuan.
IV. Senjata-senjata tersebut kemudian juga tidak akan dipakai selain dari tujuan menjaga keamanan umum. Selanjutnya pihak Indonesia menanggung jawab untuk menyimpan senjata-senjata tersebut.
V. Mulai saat terikat perjanjian ini pihak Indonesia mewakili tentara kita tentang hal menjaga gudang-gudang, bangunan dan lain - lain jang tertulis dalam daftar yang terlampir bersama ini , yang mana semestinya kita menjaganya.
VI. Mulai saat terikat perjanjian ini pihak Indonesia membubarkan barisan rakyat yang memberontak.
VII. Surat perjanjian ini ditandatangani oleh Pihak Indonesia: Wakil Gubernur Sumatera dan Wakil Residen Daerah Aceh. Pihak Nippon: Keibitaityo, Kita Aceh Bunsjutyo. Surat perjanjian dibuat 4 (empat) lembar, yang sama bunyinya dan dipegang 1 (satu) lembar oleh masing-masing yang bersangkutan. Kami yang bertanda tangan d i bawah ini, berjanji dengan sebenarnya.

Sigli pada tanggal 4 Desember 1945

Pihak Nippon:
1. Kita Aceh Bunsyutyo T.Mituaka
2. Keibitai Tyo M.Sokata
(di cap) (Belum sempat ditandatangani)

Pihak Indonesia:
1. Wakil Gubernur Sumatera T.Djohan
2. Wakil Residen Aceh dan Daerah takluknya T. Panglima PolemMohd.Ali
(Belum sempat ditandatangani)

Akhirnya, setelah perundingan berlansung dengan sangat alot. Jepang yang tak ingin senjatanya dilucuti oleh barisan rakyat dan kelompok uleebalang, menyatakan hanya akan menyerahkan senjatanya kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Untuk menghindari senjata-senjata itu jatuh ke tangan barisan rakyat dan kelompok uleebalang yang sedang berselisih, maka semua senjata Jepang tersebut akan diangkut ke Banda Aceh dengan menggunakan kereta api yang dikawal TKR. Keamanan tentara Jepang pindah dari Sigli ke Banda Aceh juga menjadi tanggung jawab TKR.

Saat senjata-senjata Jepang dinaikkan ke kereta api di Stasiun Sigli, tanpa diduga sekitar 2.000 orang bersenjata tajam dari kelompok uleebalang memasuki Kota Sigli. Dari kerumuman massa tersebut terdengar rentetan tembakan. Tembakan tersebut kemudian dibalas oleh massa dari barisan rakyat, suasana Kota Sigli jadi mencekam.
Perang frontal pertama antara kelompok barisan rakyat dengan kelompok uleebalang ini berlangsung selama dua hari dua malam. Syamaun Gaharu kemudian memerintahkan tentara TKR dari Banda Aceh untuk menuju Sigli, untuk mengendalikan suasana.

Pada hari ketika datang juga ke Sigli Gubernur Sumatera Utara, MR Teuku Muhammad Hasan. Ia masuk ke Kota Sigli di bawah pengawalan tentara TKR dari Bireuen. MR Teuku Muhammad Hasan merupakan anak uleebalang Pinueng Sigli, lulusan Leiden Unversity, ia Gubernur Sumatera pertama, yang ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Komisaris Negara Republik Indonesia.

6 Desember 1945
Pihak yang bersangkutan bersedia berembuk dan pada tanggal 6 Desember 1945 dicapailah sebuah keputusan untuk melakukan perdamaian.
Perundingan Antara Uleebalang dan Ulama

MR Teuku Muhammad Hasan menggelar pertemuan dengan wakil-wakil kedua belah pihak untuk menghentikan perang saudara tersebut. Perundingan itu menghasikan kesepakatan:
  1. Senjata-senjata Jepang hanya boleh diserahkan kepada Residen Aceh selaku pemerintah yang sah di Aceh.
  2. Tanggung jawab keamanan di Kota Sigli tetap berada di tangan pemerintah, TKR dan alat-alat resmi lainnya.
  3. Pihak rakyat dan pihak uleebalang mengundurkan diri meninggalkan kota Sigli, kembali ke tempat masing-masing.
  4. Jika terjadi insiden saat pengunduran diri, pimpina pihak masing-masing harus bertanggung jawab.

Konflik dan perang selama tiga hari dari tangga 1 sampai 3 Desember 1945 itulah awal mula dari peristiwa Perang Cumbok di Aceh, yang mengorbankan banyak harta benda dan nyawa.

8 Januari 1945
Pada tanggal 8 Januari 1946, Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh bertempat di markas TKR Kutaraja, mengadakan rapat lagi membahas masalah Cumbok.
Rapat ini mengambil keputusan sebagai berikut:
  1. Mengirimkan saran yaitu dengan jalan mengirimkan Maklumat yang isinya sebagai terlampir pada putusan hari ini.
  2. Mengirimkan bantuan pelor-pelor meriam untuk penambah yang kurang.
  3. Mengirimkan pasukan penggempur yang lengkap dengan senjata penggempur yang dikirim terdiri:
  1. Polisi istimewa dengan kekuatan 20 orang.
  2. TKR (diambil dari Sigli) dengan kekuatan 15 orang.
  3. Verband-verband dan obat-obat dalam tromol dari PMI.
  4. Yang mengepalai untuk mengantar dan menyerahkan pasukan-pasukan penggempur ke Garot, Tuan Abd. Rahman dari Polisi Istimewa NRI.
  5. Pusat Komando bertempat di Garot (kalau perlu berpindah-pindah).
  6. Berangkat tanggal 9 Januari 1946 pukul 8 pagi dengan kereta api.
  7. Belanja dari Fonds Kemerdekaan sejumlah f. 7000.00.-
  8. Sebelum dilakukan penggempuran terus menerus terlebih dahulu dikirim ultimatum sebagai yang terlampir di putusan sidang yang ditandatangani oleh Wakil Pemerintah Daerah Aceh dan Kepala Markas Umum Daerah Aceh.

Atas dasar keputusan rapat tersebut Pemerintah Daerah Aceh bersama Markas Umum Daerah Aceh mengeluarkan Maklumat berisikan:
“Sesudah Pemerintah Daerah Aceh dan Markas Umum Daerah Aceh menyelidiki dengan nyata dan seluas-luasnya, Pemerintah Daerah dan Markas Umum telah menetapkan: Bahwa golongan yang berpusat di Cumbok, Lam Meulo, dan tempat-tempat lain yang memegang senjata dan mengadakan perlawanan kepada Rakyat Umum: Bahwa mereka itu adalah pengkhianat dan musuh Negara Republik Indonesia. Maka oleh sebab itu, diperintahkan kepada orang-orang yang terpengaruh, terperosok dan terpedaya oleh golongan pengkhianat itu, supaya dengan segera menghindarkan diri. Kalau tidak mereka itu pun akan dihukum dan akan menerima ganjaran menurut kesalahannya.”

 Markas Umum Daerah                    
                                                                        
                Ttd                                                           
      Syamaun Gaharu                            
 Aceh Pemerintah Daerah Aceh Wakil Residen
                 ttd 
T.P.P. Mohammad Ali

Maklumat itu disebar luaskan oleh pemerintah ke masyarakat terutama untuk bisa dimaklumi oleh rakyat di tempat pergolakan (Lam Meulo, Sigli, dan lain-lain) agar mereka yang terpengaruh bisa memahami dan mengambil sikap yang positif. Beberapa hari kemudian ultimatumpun dikirimkan kepada Teuku Daud Cumbok dan BPK-nya.
Ultimatum itu berisikan:
“Dengan ini diberitahukan kepada golongan yang berpusat di Cumbok, Lam Meulo, dan tempat-tempat lain yang memegang senjata dan mengadakan perlawanan terhadap Rakyat umum, supaya menyerah dan menghentikan perlawanannya, mulai pukul 12.00 siang hari Kamis tanggal 10 Januari 1946.
Kalau tidak mau menyerah dan menghentikan perlawanan, maka mereka itu akan ditundukkan dengan kekerasan.”


10 Januari 1945
Tanggal 10 Januari pukul 12.00 siang telah berlalu, akan tetapi golongan Cumbok belum juga mau menyerah. Pihak Markas Umum dan Pemerintah masih menenggang rasa. Meski demikian penyerahan tetap tidak terjadi.
Oleh karena itu, sesuai dengan bunyi ultimatum, gempuran pun dilakukan oleh TKR. Tidak hanya senjata biasa yang bicara. Meriam dan senapan mesin berat ikut digunakan oleh TKR, dibantu barisan laskar rakyat.

11 Januari 1945
Pada tanggal 11 Januari 1946 PRI dan TKR menyerang pertahanan BPK di Blang Malu, kira-kira tiga kilometer dari Beureunun dan segera bisa menguasainya. Maka pada 12 Januari 1946 Lam Meulo pun diserang. Pertempuran seru terjadi sehari penuh dan besokpaginya

12-16 Januari 1946
Tepat pada tanggal 12 Januari 1946, sesuai dengan ultimatum yang diberikan MUD Aceh, pihak rakyat bersama TKR dan PUSA melakukan serangan umum ke Lam Meulo selaku benteng pertahanan terkuat pihak uleebalang. Pertempuran besar-besaran itu telah banyak memakan korban. Barisan rakyat baru berhasil memasuki Kota Lam Meulo pada tanggal 13 Januari 1946 dan menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan perlawanan hebat di dalamnya. Halaman rumah T. M. Daud Cumbok yang menjadi basis pertahanan uleebalang, porak poranda akibat hantaman artileri. Meskipun kota Lam Meulo dapat diduduki, namun Panglima Cumbok dan staf-stafnya berhasil melarikan diri. Ia baru berhasil ditangkap pada tanggal 16 Januari 1946 di atas Gunung Seulawah Jantan oleh barisan rakyat dari Seulimum pimpinan Tgk. Ahmad Abdullah. Sementara T. Muda Dalam, uleebalang Bambi dan Unoe yang terlibat dalam pemberontakan tersebut melarikan diri ke rumah Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba untuk memohon perlindungan. Akan tetapi oleh Tgk H. Abdullah Ujong Rimba ia diserahkan kepada rakyat. Atas keberhasilan penangkapan pimpinan-pimpinan Cumbok tersebut, runtuhlah kekuasaan uleebalang yang memerintah Aceh selama berabad-abad dibawah lindungan Belanda.


MENGAPA BERBEDA SIKAP

“Menurut ahli ilmu Jiwa Pendidikan bahwa latar belakang pendidikan ikut membentuk sikap dan pandangan hidup seseorang manusia. Apabila dalam masyarakat kita terdapat perbedaan sikap dan pandangan dalam menerima berita "Proklamasi 17 Agustus 1945", besar kemungkinan disebabkan latar belakang pendidikan yang berbeda, yang diterima masing-masing orang atau kelompok.”


Adalah satu kenyataan sejarah, bahwa dalam menerima berita "Proklamasi 17 Agustus 1945" terjadi perbedaan sikap antara orang-orang dan kelompok-kelompok dalam masyarakat Aceh.
Orang-orang yang menerima pendidikan Belanda, yang dasar dan tujuan pendidikannya untuk menyiapkan tenaga bagi kepentingan Hindia Belanda, pada umumnya berpendapat bahwa penjajahan Belanda terhadap Indonesia adalah suatu keharusan sejarah dan Bangsa Indonesia tidak sanggup memimpin satu Indonesia yang merdeka. Hampir menjadi keyakinan bagi kebanyakan mereka ini, bahwa "Proklamasi 17 Agustus 1945" adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi, dan kalau pun telah terjadi sudah pasti tidak akan dapat dipertahankan. Menurut mereka, Belanda amat pandai dan masih cukup kuat serta tidak akan memberi kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia, seperti yang mereka dengar dari "Radio Hilversum", suaranya kolonialisme Belanda. Tentu ada juga di antara mereka yang berpendapat bukan demikian; kelompok yang kecil ini dari mereka yang berpendidikan Belanda, meyakini bahwa Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan Sukamo-Hatta adalah sesuatu yang seharusnya dan Bangsa Indonesia, termasuk Rakyat Aceh, akan sanggup mempertahankan proklamasi itu.
Orang-orang yang dipencilkan dari pendidikan Belanda dan hanya menerima Pendidikan Islam atau Pendidikan Nasional, mereka berpendapat bahwa penjajahan adalah suatu angkara murka yang harus dihapus di permukaan bumi. Menurut mereka, bahwa kecerdasan Bangsa Indonesia, termasuk Rakyat Aceh, tidak kurang dari kecerdasan Bangsa Belanda. Bangsa Indonesia akan mampu berjuang untuk merebut kemerdekaan. Mereka ini berpendapat, bahwa "Proklamasi 17 Agustus 1945" adalah suatu keharusan sejarah dan tidak ada penjajah mana pun yang akan sanggup menghapuskannya.
Di Aceh bahwa pihak Uleebalang yang diberi kesempatan untuk mendapat "pendidikan", sementara "pintu kesempatan" tersebut ditutup rapat bagi pihak ulama dan rakyat umum, sehingga pihak terakhir ini harus mencari jalamnya sendiri, yaitu Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Memang ada juga sejumlah kecil putera-putera pihak pertama yang menempuh Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional. Dengan cara yang amat licin, Belanda menggali jurang antara pihak pertama dan pihak kedua, dan jurang pemisahan tersebut semakin lama semakin meluas.



Sumber:
Dari berbagai sumber

TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH, Peranannya dalam pergolakan di Aceh/M. NUR EL IBRAHIM.
Jihad Akbar di Medan Area/Amran Zamzami, SE

Semangat merdeka/A.Hasjmy.

Mohon Koreksi dan saran bila ada data/informasi yang salah!

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Category: , , ,

Harga Emas Terkini