Geudeu-Geudeu, Olahraga Tradisioanal Aceh
Data Aceh. Geudeu-geudeu merupakan olah raga keras. Kisah
kelahirannya berawal dari usaha mengasah ketahanan mental dan jiwa laskar
kerajaan. Lamat-lamat olah raga adu fisik jadi tontonan umum.
Di Pidie, dahulunya, ketika masa luah
blang (pasca panen) atau saat purnama, geode-geude kerap dipertandingkan.
Pemuda berbadan kejar berbondong-bondong mengikutinya, meski tak ada hadiah
selain badan yang lembam.
Hadiahnya nyatanya sering tak
berwujud, hanya sebuah kebanggaan belaka yang jadi pemuas bagi petarung yang
menang. Adu fisik ini hanya sekedar pleh bren alias mengendurkan otot-otot yang
tegang melalui pertarungan. Kebangkaan lainnya, sering pula dianggap perkasa
dan menjadi lirikan ujung mata para gadis kampung.
Sebagai olah raga keras, petarung geude-geude harus memiliki ketahanan fisik dan mental yang kuat, tahan pukul dan bantingan lawan. Selain itu petarung geudeu-geude juga dituntut kesabaran dan ketabahan. Di sinilah emosi diolah. Bila emosi petarung tidak stabil, maka bisa berujung pada kematian.
Kesabaran para pemain diuji dengan
berbagai lontaran kata-kata kasar dari para penonton. Karena itu pula,
sepanjang sejarah pertarungan geudeu-geude, belum pernah terjadi pertarungan di
luar arena. Artinya, sikap sportif para pemain sangat tinggi. Meski di arena
mereka babak belur dan bonyok, tapi di luar arena itu dianggap sebagai sebuah
kewajaran.
Akhir tahun 1980-an, geudeu-geudeu
masih sering dipertunjukkan di Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie
Jaya. Biasanya pertarungan ini dibagi dalam dua katagori, yakni antar pribadi
dan antar perwakilan kampung. Siapa pun boleh ikut, syaratnya berani dan mampu
menahan pukulan serta hempasan lawan.
Sistimnya, para petarung terlebih
dahulu diundi untuk memilih lawan tanding. Petarung pertama tampil ke arena
untuk menantang dua petarung lainnya. Arena biasanya terbuat dari jerami yang
berfungsi sebagai matras. Hal ini untuk mencegah cedera para petarung saat
dibanting dan dihempas lawan.
Petarung pertama yang menentang dua
lawan disebut ureung tueng (orang yang menantang). Sedangkan petarung yang
ditantang yang berjumlah dua orang tadi, disebut sebagai ureug pok (orang yang
menyerang). Ketika diserang, petarung pertama akan memukul dan menghempas dua
petarung lain yang menyerangnya.
Pada babak ke dua, posisi pemain
dibalik. Posisi tueng akan berlaih ke pok, begitu juga sebaliknya. Hal ini
terus berlangsung dalam limit waktu tertentu. Sampai salah satu pihak menang.
Lazimnya sebuah pertandingan,
geudeu-geudeu juga dipimpin oleh beberapa orang wasit, yang disebut sebagai ureung
seumeugla (juri pelerai) yang biasanya berjumlah empat atau lima orang. Para
juri tersebut juga merupakan orang orang yang tangkas dan kuat, sehingga mampu
melerai para petarung.
Biasanya yang menjadi ureung seumegla
tersebut merupakan para mantan petarung geudeu-geudeu itu sendiri, yang
memiliki pengalaman dan insting soal geudeu-geudeu.
Seorang wasit geudeu-geude bisa
melihat apakah petarung itu memukul dengan sikap profesionalisme atau
emosional. Karena antara professional dan emosional petarung itulah wasit
berperan menentukan kapan sebuah pertarungan harus dihentikan.
Sebagai sebuah olah raga keras, adalah
hal yang lumrah, jika para petarung geudeu-geudeu banyak mengalami luka atau
lembam dan memar akibat pukulan dan bantingan lawan. Tak aneh, bila olah raga
ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang berbadan kekar.
Category: pariwisata, Seni Budaya